Imelda Bachtiar
Dulu, masa baru masuk FISIP UI, Ilmu Komunikasi tahun 1989, Mbak Chusnul adalah dosen saya dalam kelompok dosen matkul Pengantar Ilmu Politik dan Sistem Politik Indonesia. Hampir 32 tahun kemudian, saya mendengarkan lagi paparannya yang dua jam lebih, disertai berbagai hasil riset terbaru tentang bagaimana kiprah perempuan dalam politik praktis dan menyiasati kendala yang bergudang-gudang.
Mbak Chusnul tampil sebagai pemateri tunggal dalam
Ulang Tahun PIRA ke-13 kemarin. Topiknya: “Perempuan dalam Politik”. Diikuti kami, hanya sekitar 25 orang pembina dan pengurus pusat PIRA di DPP Gerindra di Ragunan, Jakarta, dan 34 DPD PIRA seluruh Indonesia dalam webinar.
Sangat menarik. Bisa dipraktikkan, bila punya niat berpolitik praktis dan beberapa teman yang sudah pernah nyaleg mengakui kebenaran hampir semua bagian dari paparannya.
Beberapa kalimat membuat saya tersenyum, mengingat hal yang sama saya pernah mendengarnya dalam diskusi bersama teman-teman Kajian Gender UI, ketika saya kuliah 2008-2010.
“Kalau kita perempuan, masuk ke politik atau ranah patriah lainnya, dan kita menonjol lebih dari lelaki, maka kita bukan disebut ‘pintar’, tetapi kita disebut ‘galak’,” kata doktor Ilmu Politik dari Sydney University ini.
Penulis buku “Parlemen Modern” bersama beberapa penulis lain ini, menggarisbawahi perempuan dalam politik sering kurang percaya diri, apalagi kalau sudah duduk di parlemen. Tetapi, tak usah juga menyalahkan perempuan, karena itu adalah bentukan budaya patriah sejak dulu kala.
Rapat pembahasan RUU misalnya, bisa sampai pagi hari, ruangan penuh asap rokok. Aleg perempuan jumlahnya juga sangat sedikit, sehingga mereka kalah suara atau pendapatnya tak didengar. Ada komisi yang anggotanya cuma dua orang perempuan, dan bila ia mengangkat tangan bertanya, aleg laki-laki segera merundungnya. “Mau nanya apalagi sihhhh…” Demikian Mbak Chusnul menirukan suasana ruang gedung parlemen seperti sering diceritakan murid-muridnya yang melenggang ke Senayan.
Seorang peserta bertanya, “Apakah Bu Chusnul berminat menjadi anggota dewan, duduk di DPR?”
Mantan komisioner KPU yang sekarang justru sering mengkritik KPU ini menjawab, “Saya sudah ditakdirkan menjadi guru. Mungkin seumur hidup saya. Saya juga ingin mendorong lebih banyak perempuan duduk di parlemen. Partai apa saja. Saya akan bagi ilmu saya,” kata-katanya ini, bikin mata saya tetiba mendanau.
Beberapa garis-bawah dari Mbak Chusnul yang bisa jadi vitamin bagi perempuan yang akan maju menjadi caleg pada 2024 nanti adalah:
🌺 Perempuan adalah pendukung loyal partainya, tetapi dia kritis.
🌺 Mengingat visi (utama) Gerindra adalah Ketahanan Pangan, maka perempuan bisa ambil bagian mulai dari unit terkecil: keluarga.
🌺 Pahami tahapan-tahapan Pemilu, mulai sekarang.
🌺 Tentukan dari diri sendiri, kapan kita bisa mulai perjuangan yang panjang ini.
🌺 Ada tiga kata. Perjuangan itu akan panjang, sangat panjang, mungkin dengan kejatuhan/kegagalan berkali-kali. Maka: ikhlas, jujur dan sabar.
🌺 Darimana dananya? Ini ternyata penting, tapi bukan yang terpenting seperti yang saya duga semula.
🌺 Suara hilang, adalah fenomena bukan cuma caleg perempuan, dan bukan cuma Gerindra. Cari cara sendiri untuk mengawalnya.
🌺 Media sosial, sangat penting. Gunakan media sosial untuk membangun/mengumpulkan pemilih, dari sekarang.
Ayo, saya mendukung lebih banyak perempuan di parlemen. Bukan cuma 30% dalam daftar caleg seperti tahun-tahun lalu.
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), saat ini diwakili 15 orang perempuan dari 78 orang anggota legislatif. Mohon maaf, saya salah memberi data ke Kompas, jadi tertulis 15 dari 73. Jadi, itu masih 19 persen dan kita dalam proses mengejarnya. Menurut Dr. Chusnul, semua bagian dari proses yang panjang, butuh kesabaran, tetapi hasilnya pasti ada.
Selamat ulang tahun ke-13, PIRA!
Terima kasih harian Kompas yang telah memuatnya dalam edisi cetak, “Kilas Politik dan Hukum”, 8 Oktober 2021, h. 4.
“PIRA Berdaya, Gerindra Berjaya”