Indonesia adalah negeri kaya raya yang memiliki sumber daya alam melimpah. Segala produksi pangan tersedia melimpah di negeri ini. Indonesia ibarat surga dunia yang menyimpan banyak berkah. Ironisnya, kekayaan yang tersimpan di bumi Indonesia tidak sesuai dengan apa yang dirasakan rakyatnya. Kemiskinan dan kelaparan masih menjadi cerita. Krisis pangan kerap menjadi berita. Ada yang salah dengan tata kelola pangan di Indonesia.
Sebagai negara kaya raya, Indonesia memiliki amanat undang-undang untuk mewujudkan kedaulatan pangan, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012. Kedaulatan pangan artinya, Indonesia mampu meningkatkan kemampuan produksi pangan melalui penyediaan sarana produksi pertanian, menyediakan pangan yang beraneka ragam, tentunya pangan yang aman, bermutu dan bergizi.
Mewujudkan tingkat kecukupan pangan terutama pangan pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau, mempermudah rakyat memperoleh kebutuhan pangan, meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas.
Selain itu, tujuan dari kedaulatan pangan adalah meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pangan yang bermutu dan aman, meningkatkan kesejahteraan bagi petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan. Serta, melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya pangan nasional.
Pemerintah boleh saja mengklaim selama ini telah bekerja keras mewujudkan swasembada pangan sesuai dengan apa yang telah dijanjikan. Namun faktanya, hingga saat ini kedaulatan pangan masih jauh dari kenyataan.
Pemerintah belum mampu mengoptimalkan seluruh potensi dalam negeri yang dimiliki. Misalnya saja tentang pengembangan ternak sapi perah. Padahal pengembangan usaha industri sapi perah di Indonesia mempunyai prospek strategis untuk pengembangan SDM. Namun ironisnya, 70 persen bahan baku industri sapi perah berasal dari Impor. Pemerintah harus terus berupaya meningkatkan produksi dan produktivitas sapi perah, yang sebagian berasal dari peternakan sapi perah rakyat.
Paradoks kebijakan pangan
Selama tahun 2014 hingga saat ini, masih terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya. Bahkan, beberapa kebijakan juga kerap tidak sejalan dengan amanah undang-undang sektor pertanian.
Paradoks antarkebijakan soal pangan yang sering bertabrakan tidak hanya melibatkan antara satu kementerian dengan kementerian lain, tetapi juga antara satu eselon dengan eselon lain dalam satu kementerian. Hingga menjelang akhir periode pemerintahan 2014-2019, setidaknya terdapat beberapa amanat Undang-undang yang belum terlaksana.
Pemerintah beberapa kali melakukan impor pangan, terutama beras. Hal ini bertolak belakang dengan penjelasan Kementerian Pertanian mengenai kondisi data beras yang terus mengalami peningkatan. Menurut Kementerian Pertanian, potensi produksi beras akan terus meningkat. Pada Januari 2018 sebanyak 2.668.764 ton, Februari sebanyak 5.388.600 ton, Maret sebanyak 7.441.842 ton, dan April sebanyak 5.283.498 ton.
Atas penjelasan itulah Komisi IV DPR RI secara tegas menolak dilakukan impor beras. Pernyataan itu dituangkan dalam kesimpulan Rapat Dengar Pendapat pada 14 Januari 2018 antara Komisi IV DPR RI bersama Eselon I Kementerian Pertanian, Direktur Utama Perum BULOG, Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Holding Company, Direktur Utama PT Sang Hyang Seri, Direktur Utama PT Pertani, dan Direktur Utama PT Berdikari.
Namun faktanya, data potensi produksi beras yang dimiliki Kementerian Pertanian diabaikan oleh kementerian lain yang tetap ngotot melakukan impor beras. Bahkan tidak hanya beras, impor juga dilakukan terhadap komoditas jagung. Padahal di saat yang sama Kementerian Pertanian juga melakukan ekspor jagung. Artinya, impor yang dilakukan selama ini tidak melalui rekomendasi maupun koordinasi dengan menteri teknis tekait.
Tentu saja hal ini bertolak belakang dengan Undang-undang. Berdasarkan UU 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 36 Ayat 1 dijelaskan, “Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.” Bahkan dalam Ayat 2 di pasal yang sama dijelaskan, “Impor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi,” dan di Ayat 3 tertuang “Kecukupan Produksi Pangan Pokok dalam negeri dan Cadangan Pangan Pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan.”
Jelas sudah. Impor beras yang selama ini dilakukan pemerintah tidak hanya bertolak belakang dengan Undang-Undang Pangan, tetapi juga merugikan para petani. Bahkan, secara kasat mata pemerintah telah mengangkangi Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Impor bila asupan dari dalam negeri tak cukup
Di dalam UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dalam Pasal 15 dijelaskan, “Pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional”. Bahkan di Pasal 30 secara nyata tertulis, “Setiap Orang dilarang mengimpor Komoditas Pertanian pada saat ketersediaan Komoditas Pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan Pemerintah”.
Persoalan pangan di Indonesia saat ini ternyata bukan hanya masalah impor semata, tetapi juga masalah diversifikasi (penganekaragaman) pangan. Pemerintah seakan tidak memiliki strategi induk (grand strategy) yang utuh di sini. Kebijakan yang ada justru saling bertolak belakang dan saling melemahkan.
Beberapa contoh kasus di antaranya adalah kebijakan produksi beras dengan kebijakan produksi umbi-umbian, kebijakan diversifikasi konsumsi pangan dengan kebijakan impor beras, maupun kebijakan pengembangan pangan lokal dengan kebijakan impor terigu. Pemandangan tersebut membuktikan bahwa paradoks kebijakan pangan terjadi di pemerintahan saat ini.
Fakta lain yang membuktikan pemerintah kurang serius dalam mengelola persoalan pangan adalah belum terbentuknya Kelembagaan Pangan hingga saat ini. Padahal, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, Pasal 126 mengamanatkan untuk membentuk lembaga Pemerintah yang menangani bidang Pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Di mana, peraturan pelaksanaannya harus ditetapkan paling lambat tiga tahun sejak Undang- undang ini diundangkan, yaitu November 2015. Namun, hingga saat ini kelembagaan pangan yang dimaksud belum juga terealisasi. Presiden dan perangkatnya di pemerintahan terkesan lambat dalam membentuk lembaga pangan. Padahal tugas, pokok dan fungsi lembaga ini sangat diperlukan demi kelangsungan pangan di Tanah Air. Pemerintah juga hingga saat ini tidak kunjung menyediakan pulau karantina yang bertujuan menjaga kesehatan hewan ternak.
Padahal, wacana pulau karantina sudah menjadi rekomendasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang harus terealisasi paling lambat dua tahun sejak diundangkan. Kementerian Pertanian sejauh ini merasa sudah siap dengan wacana pulau karantina. Namun, Peraturan Pemerintah yang mengatur syarat dan tata cara/kriteria penetapan suatu pulau menjadi pulau karantina belum juga selesai. Mengingat, dalam mewujudkan pulau karantina perlu melibatkan banyak instansi seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dari sederet uraian persoalan pangan di atas, ada satu hal yang sangat menggelikan. Yakni, terus berlangsungnya impor garam. Padahal, Indonesia memiliki garis pantai terpanjang dan juga merupakan negara kepulauan. Cita-cita tercapainya swasembada garam semakin jauh panggang dari api.
Yang tak habis pikir, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman justru bertentangan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Dalam pasal 37 Ayat (3) UU No 7/2016 jelas disebutkan, “Dalam hal impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman, menteri terkait harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri.” Aturan ini menempatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai kementerian teknis yang berwenang memberikan rekomendasi impor garam. Namun, dalam PP Impor Garam Pasal 3 Ayat (2) tentang mekanisme pengendalian menyatakan, Kementerian Perinindustrian disebut yang berwenang memberikan rekomendasi.
Bayangkan, PP yang seharusnya dijalankan pemerintah atas dasar UU, justru malah bertentangan bahkan bertabrakan dengan UU. Jika ada political will dari pemerintah untuk mengembangkan usaha garam rakyat dan berkualitas tinggi, tentu saja impor garam menjadi suatu kebijakan yang tidak perlu. Sayang, perhatian pemerintah kepada petambak garam terkesan masih sangat lemah. Itulah sederet persoalan pangan yang terjadi di pemerintahan saat ini. Masih banyak janji yang tidak terealisasi, masih banyak amanat konstitusi yang belum dieksekusi, bahkan masih lemah pemerintah dalam hal koordinasi. Akibatnya, rakyat kembali menjadi korban. Hampir lima tahun pemerintah diberikan kesempatan. Selama itu pula DPR selalu memberi dukungan agar setumpuk janji pemerintah menjadi kenyataan. Namun bukannya terselesaikan, tetapi makin jauh dari yang diharapkan.
Dari sederet permasalahan itu semua, salah satu penghambat utama dalam terwujudnya kedaulatan pangan adalah keberpihakan anggaran. Bagaimana mungkin kedaulatan pangan tercipta bila anggaran sektor pangan dari tahun ke tahun terus dipangkas dan mengalami penurunan. Bayangkan saja, pada 2015 anggaran Kementerian Pertanian sebesar Rp 32 triliun. Namun semakin ke sini bukannya semakin ditambah, tetapi malah dipangkas menjadi Rp 27 triliun pada tahun 2016, Rp 24 triliun pada tahun 2017, Rp 23 triliun pada tahun 2018, dan Rp 21 triliun pada tahun 2019. Dalam mewujudkan kedaulatan pangan, negara harus hadir dan memiliki komitmen. Selain itu, negara juga butuh strategi baru dan terobosan baru demi mewujudkan bangsa ini menjadi adil dan makmur.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Kedaulatan Pangan, Nyata atau Mimpi?”, https://ekonomi.kompas.com/read/2019/01/16/211239526/kedaulatan-pangan-nyata-atau-mimpi.
Editor : Ana Shofiana Syatiri