Agnes Marcellina Tjhin
Rupanya pertemuan kami berdelapan (saya, Lieus Shungkarisma, Yap Hong Gie, Zeng Wei Jian, Chandra, Thomas, Martin, Ali ) dengan beberapa wartawan pada tanggal 23 Mei 2018 berbuntut panjang. Pernyataan LS kepada wartawan bahwa dirinya tidak mendukung lagi Pak Jokowi untuk maju sebagai calon presiden tahun 2019 dan menyampaikan kamsia, cukup 1 periode saja, menjadi amarah bagi sebagian orang.
LS, tim sukses Jokowi tahun 2014. Ia mengatakan, “2014 aku yang memulai tetapi 2019 aku yang mengakhiri”. Ini sikap bahwa beliau kecewa dengan kinerja Jokowi dan jajaran pemerintahan selama 4 tahun ini. Sikap tersebut tentu saja adalah sikap pribadi bersama dengan 8 orang yang hadir saat itu dan kebetulan kami adalah orang Tionghoa dan menyatakan bahwa kami adalah bagian dari komunitas Tionghoa yang memang berkumpul dalam sebuah komunitas dengan kegiatan-kegiatan diskusi yang sering kami lakukan.
Tidak ada pernyataan bahwa kami adalah tokoh Tionghoa, tidak ada pernyataan bahwa kami mewakili Tionghoa seIndonesia. Tidak ada pernyataan bahwa seluruh Tionghoa tidak mendukung Jokowi. Yang kami sampaikan adalah ya sikap kami yang berdelapan orang itu.
Saya jelas menyampaikan bahwa saya sebagai kader partai politik oposisi maka pilihan saya sangat terang benderang bahwa slogan #2019 GANTI PRESIDEN# adalah tekad kami dari koalisi partai politik oposisi.
Sehari setelah media meliput pertemuan tersebut, maka hebohlah dunia medsos dengan berita-berita mengamuknya para Tionghoa lain yang berbeda pilihan dengan kami. Mereka beramai-ramai mengadakan konferensi pers yang dilakukan di Jogjakarta, di Cempaka Putih, di Pantai Indah Kapuk dan lain-lain. Intinya: bereaksi tidak suka kepada Lieus dan kawan-kawan dengan tuduhan bahwa kami salah karena sudah mengatas namakan Tionghoa, padahal tidaklah demikian. Jejak digital melalui tulisan di media maupun rekaman video yang ada, tidak menunjukkan bukti tersebut. Mereka tidak suka bahwa kami menggunakan istilah Komunitas Tionghoa. Memangnya kata Tionghoa merk paten?
Ada lagi yang mengaku sebagai suhu hai hai bengcu yang mencaci maki saya sebagai “perempuan culas dan jahat, perempuan penyebar kepahitan dan kebusukan, tuna susila, penjilat pantat orang” dan sumpah serapah lainnya, padahal dari kalimat-kalimat yang ditulisnya saja justru menggaungkan siapa dirinya sesungguhnya.
Yang paling anyar adalah somasi dari sekelompok pengacara yang melayangkan somasi kepada Lieus dan kawan-kawan dan meminta kami untuk meminta maaf dan jika tidak maka kami akan dilaporkan ke kepolisian. Permintaan yang sungguh keterlaluan di era demokrasi dimana orang berhak menyuarakan pilihan politik masing-masing, tetapi mereka memaksakan kehendak. Mereka justru ingin menggiring opini bahwa semua Tionghoa mendukung rezim ini, padahal kenyataannya tidak.
Di tengah stigma dalam masyarakat bahwa aseng dan asing mendukung Jokowi, justru kami ingin bersuara bahwa itu tidak benar. Tidak semua aseng mendukung Jokowi, tidak semua aseng memusuhi umat Islam. Tidak semua aseng urusannya hanya melulu soal dagang dan uang. Ada aseng-aseng yang juga berjuang untuk keutuhan bangsa ini dengan tidak bersikap eksklusif tetapi bergaul dengan komunitas-komunitas lain dari seluruh elemen bangsa. Concern kami adalah masalah keadilan hukum dan keadilan dalam kesejahteraan ekonomi masyarakat Indonesia.
Sebagai orang yang waras, mereka yang berusaha melakukan intimidasi terhadap kami, kami abaikan dan tetap akan fokus kepada cita-cita perjuangan politik yang sedang kami ikhtiarkan.
Saya sendiri baru bisa menulis komentar tentang peristiwa tersebut karena 2 minggu terakhir berada di Garut untuk mensosialisasikan ASYIK, ASYIK, ASYIK! Dengan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga pasangan Sudrajat – Syaikhu dilapangkan jalannya menuju kepemimpinan Jawa Barat. Salam Indonesia Raya.***
Agnes Marcellina Tjhin adalah anggota PIRA, caleg perempuan Gerindra pada Pemilu 2014 untuk Dapil Jawa Barat XI. Kolom ini dimuat di laman FB Page PIRA pada 8 Juni 2018.