Edhy Prabowo

Photo by Tribunenewa.com
“Tolak Tenaga Kerja Asing”, “Usir Tenaga Kerja Asing dari Tanah Air”. Kita masih ingat betul suara-suara yang lantang diteriakkan ratusan buruh di tengah terik Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2018 lalu di pusat ibu kota Jakarta. Tepatnya di depan Istana Negara, tempat Presiden Joko Widodo berkantor. Berbagai spanduk yang mereka bawa juga bertuliskan gugatan yang sama.
Perjalanan hadirnya peraturan Presiden itu sungguh cepat, kalau tak ingin disebut kilat. Baru sekitar dua bulan lalu. Presiden Jokowi sebelumnya meminta agar izin bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) yang hendak masuk ke Indonesia dipermudah. Permintaan disampaikan Jokowi saat membuka rapat terbatas terkait penataan TKA di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, awal bulan Maret. (lihat “Jokowi Siapkan Perpres Demi Permudah Tenaga Kerja Asing”, https://nasional.kompas.com/read/2018/03/06/21473501/jokowi-siapkan-perpres-demi-permudah-tenaga-kerja-asing.)
Peraturan Presiden itu kemudian lahir dengan mulus, justru di tengah-tengah suara kencang rakyat menolaknya. Perpres Nomor 20 Tahun 2018 yang tampak jelas dihadirkan bukan untuk membela kepentingan tenaga kerja Indonesia. Padahal, bila kita merenung secara sederhana saja, siapakah yang menurut amanah UUD 1945 seharusnya membela hajat hidup orang banyak warga negara Indonesia?
UUD 1945 jelas memberi amanat pemerintah memenuhi hak-hak warga negara atas lapangan kerja dan penghidupan yang layak seperti bunyi Pasal 27 ayat (2) UUDD 1945, bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Artinya, perpres jelas mencederai amanat UUD 1945.
Bagaimana Sikap Gerindra?
Sikap Partai Gerindra tersurat jelas. Menolak dan juga mengusulkan dibentuk Panitia Khusus untuk menyelidiki lebih tuntas, ada apa dibelakang lahirnya perpres ini.
Kenapa Partai Gerindra mendesak dibentuknya Panitia Khusus (Pansus)? Tugas anggota DPR salah satunya adalah berada di “sepatu” rakyat dan berusaha sedapat mungkin membela mereka. Urusan menolak TKA telah dari tahun ke tahun disuarakan, dan makin nyaring suaranya saat Lalu, apakah kita masih bisa menyebut bahwa kita mewakili mereka jika di saat yang sama pemerintah membuat perpres yang justru melancarkan tenaga kerja asing mencari nafkah di negara kita?
Pertentangan dengan UU Ketenagakerjaan 2003
Perpres Nomor 20 Tahun 2018 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pertentangan itu adalah:
- Pertama, Pasal 9 Perpres Nomor 20 Tahun 2018 menyatakan “… pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 merupakan ijin untuk mempekerjakan TKA”. “Ini artinya badan usaha yang ingin menggunakan TKA tidak wajib lagi mengurus ijin. Padahal, penjelasan Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 13 tahun 2003 berbunyi “Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.”
Penjelasan pasal tersebut bermaksud menyatakan bahwa RPTKA merupakan persyaratan untuk mendapat ijin kerja. “Bila membaca penjelasan Pasal 43 ayat 1 ini berarti RPTKA dan ijin TKA adalah hal yang berbeda, dan RPTKA menjadi syarat untuk mendapat ijin. Jadi, dengan adanya pasal 9 Perpres Nomor 20 Tahun 2018 ini Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) dihapuskan. Padahal RPTKA dan IMTA adalah hal yang berbeda”.
- Kedua, pada pasal 10 ayat 1a Perpres Nomor 20 Tahun 2018 disebutkan “Pemberi Kerja TKA tidak wajib memiliki RPTKA untuk mempekerjakan TKA yang merupakan pemegang saham yang menjabat sebagai anggota Direksi atau anggota dewan komisaris pada pemberi kerja TKA”. Sementara di pasal 42 ayat 1 UU Nomor 13 tahun 2003 berbunyi “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk” artinya mewajibkan TKA termasuk komisaris dan direksi harus memiliki ijin, dan di Pasal 43 ayat 1 berbunyi “Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk” artinya juga diwajibkan memiliki RPTKA. Jadi, Pasal 10 ayat 1a bertentangan dengan Pasal 42 ayat 1 dan Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003.
- Ketiga, Pasal 10 ayat 1c Perpres Nomor 20 Tahun 2018 menyatakan “pemberi kerja TKA tidak wajib memiliki RPTKA untuk mempekerjakan TKA yang merupakan TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan Pemerintah”. Dengan pasal ini, berarti ada pengecualian bagi pemberi kerja TKA untuk tidak mengurus RPTKA. Padahal bila membaca Pasal 43 ayat 3 yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing”. Artinya bahwa yang dikecualikan hanya bagi instansi pemerintah, badan badan internasional dan perwakilan negara asing.
Terminologi “instansi pemerintah” artinya TKA yang bekerja untuk instansi pemerintah. Pasal 10 ayat 1c ini membuka ruang bagi TKA yang bekerja di luar instansi Pemerintah dengan tidak wajib memiliki RPTKA. Disinyalir, hadirnya Pasal ini dikhususkan untuk TKA yang terlibat dalam pengerjaan infrastruktur yang dibiayai dari pinjaman luar negeri. Utang Luar Negeri dari Tiongkok, mungkin saja mensyaratkan pekerja Tiongkok mengerjakan infrastruktur yang dibiayai dari pinjaman luar negeri tersebut. Jadi, Pasal 10 ayat 1c bertentangan dengan Pasal 43 ayat 3 UU Nomor 13 Tahun 2003.
Pengertian hadirnya TKA sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah Transfer of Job dan Transfer of Knowledge. Inilah pengertian dasar yang harus dipegang oleh pembuat peraturan perundang-undangan. Selain itu, UU Nomor 13 Tahun 2003 tegas melarang TKA unskilled labour (pekerja tanpa keahlian) bekerja di Indonesia, kecuali yang memiliki keterampilan seperti tenaga ahli mesin teknologi tinggi, ahli hukum internasional, akuntansi internasional, dan lain-lain. Itu pun dengan syarat TKA ini harus bisa berbahasa Indonesia, satu orang TKA didampingi 10 orang pekerja lokal, serta terjadi transfer of knowledge dan transfer of job.
Perpres Nomor 20 Tahun 2018 membuka celah bagi TKA untuk mempermainkan izin masa tinggal di Indonesia. Pasal 22 menyebutkan, “Dalam melaksanakan pekerjaan yang bersifat darurat dan mendesak, TKA dapat menggunakan jenis visa dan izin tinggal yang diperuntukkan bagi kegiatan dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Tidak diuraikan secara gamblang apa yang dimaksud dengan frasa “darurat dan mendesak”. Sehingga, bila diabaikan frasa “darurat dan mendesak”, tidak menutup kemungkinan bisa dipermainkan sejumlah oknum TKA. Karena, Visa Tinggal Terbatas (Vitas) sejatinya menjadi syarat mutlak terhadap TKA dalam rangka untuk mendapat Izin Tinggal Sementara (Itas). Sementara izinnya pun diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), bukan Kemenaker. Sementara bila merujuk pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang dapat memberi izin bekerja di Indonesia.
Itu baru rincian benturan Perpres Nomor 20 Tahun 2018 ini dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Masih ada tiga Undang-Undang lagi yang berpotensi dilanggar oleh Perpres ini. Yaitu: Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, UU No. 6 Tahun 2017 tentang Arsitek, dan UU No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran.
Sepatutnya, pemerintah adalah pelindung rakyatnya. Pemberi rasa aman. Bila nurani pemerintah masih bisa berbicara, maka fungsi itu dapat berjalan baik dengan berpegang dan selalu amanah pada UUD 1945 secara utuh dan konsekuen. UUD 1945 yang sudah disusun oleh para pendiri bangsa dan telah terbukti mumpuni bagi kemaslahatan bangsa Indonesia sepanjang usia tanah aiar ini. Itulah fungsi hakiki sebuah pemerintah dalam negara berdaulat. Maka, bila fungsi dasar itu tidak terpenuhi, tak elok rasanya kita tinggal diam.***
Edhy Prabowo, MM, MBA adalah Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI, Ketua Komisi IV DPR RI, Wakil Ketua DPP Partai Gerindra. Kolom ini dalam bentuk yang telah disunting, telah muncul di kompas.com pada 8 Mei 2018.