Agnes Marcellina
Menjadi seorang perempuan, Nasrani dan Tionghoa masuk ke dunia politik bukanlah hal yang mudah. Gabungan dari ketiga posisi tersebut boleh dibilang sangat tidak menguntungkan dalam mencapai target meraih kursi legislatif. Apalagi untuk tingkat nasional. Apalagi di daerah yang dalam bahasa politik disebut “daerah hijau”.
Tahun 2013 adalah tahun saya memulai perjuangan politik. Sebagai anak bawang yang tidak tahu banyak tentang ilmu politik dan hanya mengandalkan buku karangan Miriam Budiardjo, tetapi memiliki semangat bahwa posisi yang kurang menguntungkan tersebut adalah sebuah tantangan yang harus ditaklukkan.
Hasil suara yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan. Walaupun sudah bekerja sangat keras, tetapi belum berhasil. Namun demikian, saya bangga karena semuanya bermula dari nol dan yang terpenting adalah pembelajaran dalam politik praktis yang saya dapatkan selama 5 tahun ini. Sungguh pencapaian yang luar biasa. Suka duka sudah saya alami. Ejekan dan bullying yang awalnya lumayan mengesalkan, sudah berubah menjadi bahan tertawaan, hiburan. “Enggak ngaruh lagi dan EGP, emangnya gua pikirin,” kata saya membatin.
Selain sisi positif yang saya dapatkan dalam dunia politik ini, saya ingin garisbawahi tentang kerisauan serta kegalauan saya. Perasaan saya, selama empat tahun terakhir ini rasa persaudaraan dan semangat kerukunan sepertinya sudah hilang dari bumi kita tercinta ini. Sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana kita seharusnya saling menghormati walaupun berbeda, sepertinya sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah perbedaan pandangan dan pilihan politik yang semakin mempertajam jurang pemisah yang semakin lebar. Aku di sini, kau di sana. Politik identitas semakin muncul ke permukaan dan semakin memperburuk keadaan.
Perbedaan pandangan dan pilihan politik juga bahkan telah masuk ke dalam ranah keluarga, sehingga kerukunan dalam keluarga besar pun sudah mulai terancam. Contoh yang saya alami, misalnya saat saya membuat tulisan dengan judul “Ananda Sukarlan yang Kurang Ajar”. Ada seorang sepupu yang menyerang tulisan tersebut secara terbuka dan mengatakan saya politikus yang ambisius. Ia juga memuji yang dilakukan oleh Ananda adalah baik, walaupun itu harus “menyerang” seorang gubernur yang terpilih secara konstitusional.
Saya tidak habis pikir bagaimana seseorang intelektual seperti sepupu saya, sanggup mengorbankan hubungan kekeluargaan, hanya karena pandangan dan pilihan politik yang berbeda. Padahal dia sendiri pun tidak kenal dengan yang namanya Ananda Sukarlan!
Saat saya berkunjung ke tempat Habaib Riziek pada tahun 2016 lalu, tidak lama kemudian teman-teman sekolah saya dulu langsung bergunjing. Saya dianggap sekarang sudah menjadi sahabat seorang teroris!
Astaga… tanpa berusaha untuk bertanya, mencari tahu apa saja yang kami bicarakan atau bagaimana kesan saya terhadap sosok Habaib Riziek yang dianggap kontroversial setelah saya bertemu langsung dengan beliau. Yang dimunculkan, sikap langsung tidak suka terhadap saya dan bahkan ada yang sampai mengatakan, saya sudah tercabut dari akarnya. Saya sendiri tidak paham apa maksud kalimat tersebut.
Jika saya membaca status-status yang diupload oleh orang-orang yang saya kenal dengan baik tetapi berbeda pandangan dan pilihan politiknya, sungguh saya merasa seram. Karena di dalamnya banyak yang isinya hoax dan fitnah belaka. Yang saya tidak percaya adalah bagaimana mungkin mereka yang dikategorikan sebagai kaum intektual tetapi menelan mentah mentah berita yang tidak benar tanpa berusaha untuk mencari tahu dulu apakah itu benar atau tidak. Mereka tidak tahu apa-apa mengenai politik, tetapi menjadi sok tahu sehingga merasa yakin dan benar status mereka, padahal itu adalah hoax.
Mereka menyerang Gerindra, PKS, tokoh agama, negarawan dengan kata-kata yang sangat kasar dan tidak sopan. Kok tidak bertanya kepada saya yang jelas-jelas berada di Gerindra dan mengklarifikasi apakah itu benar atau tidak? Kok malah menyerang dan memusuhi saya hanya karena pandangan dan pilihan politiknya berbeda dengan mereka?
Baru-baru ini bahkan terjadi hal yang cukup mengherankan. Ini dalam whatsapp grup (WAG) keluarga yang sangat dekat dimana nenek dan kakek kami semua sama, ada beberapa orang yang sangat mengidolakan “si penista agama” dan “kecebong” –maaf, ini istilah yang dipopulerkan mereka sendiri- yang selalu mengupload hal hal yang menurut saya tidak seharusnya ada di WAG keluarga. Kemudian saya ingin menghindari perdebatan di grup keluarga, saya hanya bertanya kepada admin tetapi malah saya yang dikeluarkan dari grup tersebut. Astaga….
Ada lagi di sebuah grup yang berafiliasi keagamaan, dari sekian ratus anggota, hanya bisa dihitung dengan jari yang bukan “kecebong”. Saat mereka memuji-muji idolanya, serempak mereka bersepakat, tetapi saat ada sesuatu yang saya upload sebagai sebuah informasi untuk memberikan masukan dan pandangan, maka mereka beramai-ramai bersiap untuk “menyerang”. Heran… padahal ini grup yang katanya kaderisasi politik berdasarkan nilai-nilai agama, tetapi justru tempat itu seolah dijadikan wadah untuk dukung mendukung sebuah kelompok tertentu saja dan misi yang utama adalah pengkaderan politik menjadi bias.
Ya… saya galau dengan kondisi kehidupan sehari-hari seperti ini yang mana politik identitas semakin mencuat dan mengikis persaudaraan. Semangat yang dikobarkan bukan lagi semangat persatuan, tetapi semangat peperangan. Ini dirasakan oleh banyak orang. Empat tahun pemerintahan ini berjalan, tetapi yang terjadi lebih banyak kegaduhan dari hampir semua sisi kehidupan, terutama masalah ekonomi dan rasa persatuan. Kemana rasa persaudaraan dan persatuan selama ini yang sudah terbina dan terjaga dengan baik selama puluhan tahun, tetapi tiba-tiba hanya dalam waktu empat tahun semuanya berubah?
Jika di zaman ini pilihan politik bisa memporak-porandakan hubungan-hubungan baik yang selama ini terjalin antar keluarga, antar sahabat dan teman yang berbeda, maka jelas ini berbahaya! Oleh sebab itu saya ingin #2019GANTIPRESIDEN
Salam Indonesia Raya,
22 Juli 2019
*Tulisan ini, dalam bentuk yang belum disunting, telah dimuat di Facebook Page PIRA pada tanggal 2 Juli 2018. Penulis adalah kader Partai Gerindra, Anggota PIRA dan Calon Anggota Legislatif DPR RI untuk Daerah Pemilihan Jawa Barat XI.