*Tb Ardi Januar, Staf Ahli Fraksi Gerindra MPR RI dan penggiat media sosial.
SUDAH menjadi rahasia umum bila ongkos politik di Indonesia sangat mahal. Celakanya, biaya kompetisi demokrasi yang tinggi selama ini bukan untuk membedah akal, melainkan demi sesuatu yang sifatnya transaksional.
Sering kita dengar cerita, untuk mengumpulkan massa saja harus menghitung biaya per kepala. Belum lagi untuk kebutuhan konsumsi dan atribut kampanye mereka. Belum lagi ongkos bensin mereka. Belum lagi agar massa bertahan di lokasi harus memberi hadiah dan melibatkan hiburan artis ibu kota.
Ya, biaya kampanye kita memang sangat tinggi. Tak ayal setiap hendak memulai perjuangan selalu diawali dengan kalkulasi materi, bukan soal kualitas visi misi atau pembahasan idiologi. Bila logistik tak memadai, jangan harap jumlah massa akan membludak dan jangan harap raihan suara sesuai ekspektasi.
Ini yang awalnya diragukan banyak orang dari pasangan Prabowo-Sandi. Mereka memiliki kualitas, tapi minim materi. Mereka lahir dari barisan oposisi. Tak memiliki anggaran yang bisa diakali. Tak punya akses birokrasi. Dan tak bisa menguasasi media massa untuk kebutuhan gimmick publikasi. Tak sedikit pengamat politik yang meragukan pasangan nomor urut 02 ini.
Prabowo-Sandi hanya ingin berbakti kepada bangsa dan mewakafkan hidupnya untuk negara. Mereka tak rela Indonesia sebagai negara kaya tetapi rakyatnya hidup menderita. Dengan isi kantong yang sangat sederhana, mereka berjuang sekuat tenaga. Selebihnya biar menjadi urusan Yang Maha Kuasa.
Namun, siapa sangka antusias rakyat kepada Prabowo-Sandi begitu tinggi. Ribuan orang kerap menyemut di setiap titik lokasi yang didatangi. Tanpa dibayar dan diiming-imingi kompensasi. Mereka bergerak atas dasar hati nurani.
Ulama dan umat kini bergerak dengan hati. Para emak-emak kini aktif bersuara dan berani tampil di depan. Kalangan milenial kini tak lagi malu berbicara kondisi negara. Buruh tani terus menyatukan kekuatan. Para mahasiswa dan civil society terus berteriak menyuarakan perubahan. Bahkan, netizen pun tak pernah berhenti mengimbangi informasi berita yang kadang muncul tak sesuai fakta.
Ada yang nekat datang berjalan kaki. Ada yang menyumbang duit penghasilan meski tak seberapa. Ada yang bikin atribut kampanye sendiri. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang rela menjadikan rumahnya sebagai posko pemenangan. Apa yang mereka cari…?
Ternyata, dalam perjuangan uang bukanlah garansi kemenangan. Intervensi kekuasaan juga tidak bisa menentukan. Bombardir berita dengan segala narasi juga tidak bisa mengubah keputusan. Secara kasat mata rakyat tetap ingin perubahan. Rakyat ingin ada pergantian kekuasaan.
Akan ada yang beda dengan Pilpres 2019 nanti. Money politics tak lagi berarti. Suara rakyat tak bisa lagi dibeli. Aparat birokrasi hingga tingkat desa tak bisa lagi intervensi. Kinerja penyelenggara pemilu akan terus diawasi. Akan banyak orang secara sukarela menjadi saksi saat hari pencoblosan nanti.
Demokrasi kita saat ini sedang mengalami kemajuan. Mereka yang selama ini diam seketika militan menyusun kekuatan. Uang bukan lagi menjadi syarat. Rakyat kini bergerak atas dasar niat, berbekal semangat dan didorong oleh akal sehat.
Selamat datang era akal sehat!*