Hasna Shahab Maher Algadri
Saat dia menjabat sebagai Wakil Komandan Jenderal (Wadanjen) dan setelah itu Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, kebijakannya adalah mengedepankan kesejahteraan prajurit dan menggodok metode dan terobosan-terobosan pelatihan baru. Hasilnya, Kopassus dinobatkan sebagai pasukan elit dalam kelompok tiga terbaik di dunia setelah US Navy Seals dan Israeli IDF. Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto pula, Kopassus berhasil menaklukkan puncak tertinggi dunia, Mount Everest pada tahun 1996.
Kalau ada sosok yang hidupnya tulus, hanya penuh dengan pengabdian kepada bangsa dan negaranya, orang itu adalah Prabowo Subianto. Saya mengenal Prabowo sejak remaja dan suami saya, Maher Algadri, telah mengenalnya sejak mereka berdua masih anak-anak. Maher berusia 8 tahun dan Prabowo berusia 3 tahun.
Saya ingat, ucapan seorang Prabowo kepada saya beberapa hari setelah pengumuman diberhentikannya sang Jendral Pangkostrad dari dinas militer aktif. Ketika itu Mas Bowo sedang duduk di sofa ruang keluarga kami dan ia mengatakan:
“Tidak ada yang mau mengangkat telepon saya… teman-teman saya satu pun tidak ada yang mau bicara lagi dengan saya…” kata Prabowo Subianto kepada saya. Masih saya ingat matanya yang hampa.
Dalam perjalanan waktu saya, suami, kami sekeluarga menjadi sahabat Prabowo, saya tak pernah sekalipun melihatnya “patah”, putus asa, tak lagi bersemangat memikirkan bangsanya, karena peristiwa ini…
Inilah catatan saya tentang sedikit prestasi Prabowo Subianto, yang masih banyak lagi sebetulnya.
Berbuat untuk Daerah di Usia Awal Remaja
Pada umur 16 tahun, pada saat Prabowo bersama keluarganya kembali ke tanah air setelah hampir 10 tahun berada di luar negeri, Prabowo menggagas dan mendirikan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO), yang menjadi salah satu NGO paling awal di Indonesia. Ide tersebut teriinspirasi dari gerakan US Peace Corps pada waktu itu. NGO ini dinamakan Lembaga Pembangunan atau Development Institute.
Prabowo Subianto berhasil mendapatkan berbagai donor dan sumbangan, yang totalnya sampai Rp. 19 juta pada waktu itu atau sekitar Rp. 200 juta pada hari ini. Ia kemudian membujuk tokoh-tokoh seperti Soe Hok Gie dan aktifis muda lainnya, untuk bergabung dan membangun daerah-daerah tertinggal dengan harapan utama mengangkat kehidupan perekonomian rakyat miskin. Mulai dari menyediakan pompa air untuk irigasi, pelestarian sarang lebah untuk para petani lebah dan banyak lagi.
Bisa disimpulkan, inisiatif Prabowo sebagai seorang remaja yang melaksanakan program-program tersebut ‘kickstarted’ gerakan LSM atau NGO di Indonesia. Gerakan yang sekarang telah sangat mengakar di Indonesia.
Prajurit yang Mumpuni
Pada tahun 1978, di umurnya yang belum genap 27 tahun, Prabowo terjun untuk tour of duty keduanya di Timor Timur (kini Timor Leste). Sebagai komandan Nanggala 28 dia mengorganisir penyerangan yang berhasil menembak mati Presiden Freitilin Nicolau Dos Reis Lobato. Pada saat dia ditawarkan penghargaan luar biasa berupa medali, berulang kali ia menolak, dan diberikanlah medali penghargaan tersebut kepada anak buahnya, Letda S. Muhajir.
Pada saat menjalani “special forces course” selama empat bulan di Fort Bragg, North Carolina, Amerika Serikat pada awal tahun 1980, ia dilatih oleh General Wayne Downing, salah satu jenderal bintang empat yang paling dihormati dan disegani di Amerika Serikat. Downing selaku kepala pusat pelatihan di Fort Bragg pada waktu itu, melatih Prabowo dan banyak prajurit lain. yang merupakan salah satuinstalasi militer terbesar di dunia dengan 50.000 personel aktif pada waktu itu.
.
Tidak lama sebelum Downing tutup usia, dia bercerita kepada sahabatnya, pebinis, pengamat politik dan renassaince man: Stanley Weiss. Kata Downing, “Dari semua prajurit asing yang pernah saya latih sepanjang karir saya, ada dua perwira yang berada dalam liga mereka sendiri… yang pertama Abdullah II bin Hussein, putra mahkota Jordania, dan Prabowo Subianto.”
Downing juga mengatakan, dalam ujian teori dan praktik semasa empat bulan di Fort Bragg, prestasi Prabowo jauh di atas rata-rata, dan idealismenya saat berbicara tentang negaranya, membuat Downing terharu.
Saat dia menjabat sebagai Wakil Komandan Jenderal (Wadanjen) dan setelah itu Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, kebijakannya adalah mengedepankan kesejahteraan prajurit dan juga menggodok metode dan terobosan-terobosan pelatihan baru. Hasilnya, Kopassus dinobatkan sebagai pasukan elit dalam kelompok tiga terbaik di dunia setelah US Navy Seals dan Israeli Defense Force (IDF). Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto pula, Kopassus berhasil menaklukkan puncak tertinggi dunia, Mount Everest pada tahun 1996.
Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma pada pertengahan 1996, yang diklaim oleh banyak pasukan elit dunia sebagai mission impossible dan hanya “James Bond” yang bisa menuntaskan operasi ini. Prabowo turun langsung di lapangan dengan para prajurit. Padahal beliau sudah berpangkat Brigjen TNI, this hands on approach dan kehadiran Prabowo di lini depan, memberikan contoh serta meningkatkan moral juang prajurit. Terlebih lagi untuk menjaga nama baik Republik Indonesia di saat seluruh media dunia meliput tragedi ini.
Mengorbitkan Pemimpin Muda
Yang paling mengharukan adalah tidak hentinya dia membantu, menyekolahkan, grooming pemimpin-pemimpin masa depan, yang ia lakukan sepanjang hidupnya tanpa dipublikasi atau diceritakan. Sugiono, Boni Hargens, Edhy Prabowo dan ratusan lagi orang telah dibantu, didorong dan didanai oleh Prabowo dalam pendidikan dan karirnya masing-masing. The hallmark of a true leader is his ability to then create more leaders for the future. Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Sandiaga Uno, adalah beberapa nama tokoh nasional dan pemimpin muda yang dibantu tanpa pamrih oleh Prabowo Subianto.
Maka, dengan kesadaran penuh, saya menyerukan: Pilih Prabowo Subianto, bukan demi Prabowo Subianto, tetapi demi Indonesia!*
HASNA SHAHAB, 64 tahun, adalah isteri pengusaha nasional Maher Algadri. Suaminya, sahabat Prabowo Subianto sejak balita, sehingga Hasna pun ikut larut dalam persahabatan itu. Latar belakang pendidikannya adalah Sarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.
(Tulisan ini dimuat utuh sebagaimana dimuat dalam buku “PRABOWO SUBIANTO dalam 67 Tuturan Emak-emak” (KGN, 2019, h. 81-84). Catatan oleh IB.)