Seorang ibu paruh baya di Depok, berasal dari keluarga berpenghasilan menengah, mengeluh atas naiknya Tarif Dasar Listrik (TDL) tanpa pemberitahuan di awal. Kini, satu bulan ia tak bisa hanya menyiapkan Rp.400 ribu seperti biasanya, karena tagihan melonjak sampai Rp.700 ribu. Asisten di rumahnya pun mengeluh. Bila biasanya token listrik Rp.20 ribu cukup untuk seminggu, sekarang itu hanya bisa bertahan tiga hari.
Ibu yang lain mengeluh, kini ia ke pasar tak cukup membawa Rp.50 ribu untuk membeli bahan masakan satu hari. “Bahkan cabe rawit warna pun mahal sekali!” Gula, minyak, beras, telur merambat naik tanpa ia sadari. “Tempe saja satu lonjor sekarang Rp.8 ribu dari sebelumnya Rp.3 ribu. Ikan kembung satu kantong isi tiga ekor Rp.7 ribu sekarang Rp.10 ribu. Itu saja saya tak mampu beli ikan untuk anak-anak!” katanya. Pasar tradisional memang cermin baik untuk melihat kondisi ekonomi kita secara umum.
PARADOKS INDONESIA
Apa yang terjadi sekarang, sebetulnya sudah menjadi prediksi jauh hari sebelumnya. Ini dituliskan oleh Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto dalam dua bukunya: Membangun Kembali Indonesia Raya, Haluan Baru Menuju Kemakmuran (Jakarta: Institut Garuda Nusantara, 2009); dan Paradoks Indonesia, Pandangan Strategis Prabowo Subianto (KGN, 2017).
Pemikiran sederhana ini mungkin bisa dipahami banyak orang. Apa yang terjadi sebenarnya, kita negara kaya sumber daya alam, hayati maupun non hayati. Tetapi, ada apa perekonomian kita terus terpuruk? Jawabannya: kita telah lama melupakan hakikat Pasal 33 dan 34 UUD 1945.
“Kepentingan rakyat banyak, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945, menjadi tereliminasi bahkan dikalahkan oleh kepentingan dan dominasi asing. Dominasi serta arogansi modern ini sangat sulit dikendalikan, apalagi untuk bisa dikalahkan.” (Prabowo Subianto, et. al. Membangun Kembali Indonesia Raya, Haluan Baru Menuju Kemakmuran. Jakarta: Institut Garuda Nusantara, 2009. Halaman 54).
“Kepentingan rakyat banyak”. Frasa kalimat itulah yang menjadi jiwa dan amanat UUD 1945 yang ditiupkan sejak bangsa Indonesia merdeka dan berdaulat sejak 17 Agustus 1945, hampir 70 tahun yang silam. Namun, sudahkah frasa “Kepentingan Rakyat Banyak” merasuk dan dilaksanakan dalam setiap Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang menjadi ujung tombak pelaksanaan UUD 1945? Secara jujur kita mesti menjawabnya: belum.
Pemikiran pendiri Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Prabowo Subianto, yang dicetuskan sejak awal mula partai ini berdiri 6 Februari 2008, bukan dicetuskan tanpa maksud. Pemikiran yang ia tuangkan dalam karya bersama para pendiri partai ini dalam buku Membangun Kembali Indonesia Raya, Haluan Baru Menuju Kemakmuran (2009), adalah cita-cita semua orang Indonesia. Bila ingin cita-cita “Kepentingan rakyat banyak” terwujud, kita secara konsekuen harus mau mengubah haluan menjadi haluan baru cita-cita menuju Negara yang makmur dan mandiri.
CITA-CITA DALAM JEJAK SEJARAH
Mengubah haluan yang dimaksud di sini, bukan mengubah dasar, falsafah atau cita-cita bangsa. Hal ini karena bila kita membaca sejarah, cita-cita bangsa yang mandiri sudah tertuang dalam segala sendi dan pilar berbangsa: Sumpah Pemuda, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.
Bukti itu paling mudah dapat kita temukan pada isi UUD 1945 Pasal 33 yang sebelum mengalami perubahan di era reformasi (1998-2003), Pasal 33 terdiri dari 3 (tiga) ayat, dan kemudian ditambah dengan 2 (dua) ayat perubahan. Sehingga jumlah seluruhnya setelah perubahan menjadi 5 (lima) ayat, sebagai berikut ini.
Rumusan naskah asli:
Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Rumusan perubahan:
BAB XIV
PEREKONOMIAN NASIONAL DAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 33
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-undang.
Bila kita cermati kelima ayat ini, hampir seluruhnya mengandung semangat “Kepentingan rakyat banyak” seperti yang diamanatkan UUD 1945. Mari kita perhatikan kata-kata: “asas kekeluargaan”, ”menguasai hajat hidup orangbanyak”, “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, “demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan”, menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Lalu, bagaimanakah mewujudkan cita-cita adi luhung yang terangkai dalam kalimat yang indah ini? Kita tentu tidak ingin kata-kata itu hanya tinggal cita-cita tanpa upaya mewujudkannya.
ENAM PROGRAM AKSI PARTAI GERINDRA
Bukan sebuah kebetulan pula bila 6 Program Aksi Partai Gerindra 2014-2019 secara gambling memasukkan semangat “Kepentingan rakyat banyak” dalam setiap penjabarannya.
Enam Program Aksi Transformasi Bangsa Partai Gerindra 2014-2019, sebagai berikut. Kesatu, Membangun Ekonomi yang Kuat, Berdaulat, Adil dan Makmur. Kedua,, Melaksanakan Ekonomi Kerakyatan. Ketiga, Membangun Kedaulatan Pangan dan Energi serta Pengamanan Sumber Daya Air. Keempat, Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Indonesia melalui Program Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Budaya serta Olahraga. Kelima, Membangun Infrastruktur dan Menjaga Kelestarian Alam serta Lingkungan Hidup. Keenam, Membangun Pemerintah yang Bebas Korupsi, Kuat, Tegas dan Efektif.
Dari keenam Program Aksi tersebut, 4 butir diantaranya, yaitu program ke-1,2,3 dan 5, berisi cita-cita menuju bangsa yang mandiri dan berdaulat terutama dalam pangan dan energi, serta mengamankan Sumber Daya Air dan Alam.
Salah satu saja yang diangkat oleh Prabowo Subianto adalah Partai Gerindra telah sungguh menyadari bahwa untuk mewujudkan program butir pertama: Membangun Ekonomi yang Kuat, Berdaulat, Adil dan Makmur, kita harus mampu, antara lain: meningkatkan pendapatan per kapita penduduk, meningkatkan pemerataan dan kualitas pertumbuhan ekonomi, meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak dan mendorong peran swasta.
Ini sejalan dengan beberapa produk perundang-undangan yang diturunkan sebagai pelaksanaan perubahan Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Dalam Panduan Pemasyarakatan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Repubik Indonesia (2014), dijelaskan bahwa bentuk pengaturan lebih lanjut tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial adalah sebagai berikut:
(1) Untuk Pasal 33, telah ditetapkan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Presiden Republik Indonesia; UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025; UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; UU Nomor Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN; UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
(2) Untuk Pasal 34, telah ditetapkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin; dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.”
Kedua buku pemikiran Prabowo Subianto ini ditulis lewat perenungan yang sangat panjang, bahkan sebelum Partai Gerindra didirikan. Bagaikan mata serangga yang multi faset, kita semua diajak melihat persoalan bangsa ini dari berbagai sudut pandang. Bila banyak pandangan sinis menilai pemikirannya, saya kuatir mereka semua belum membaca kedua buku ini. Padahal, tanpa membaca keduanya, kita tak mungkin mengerti kenapa sampai kekuatiran seperti ini selalu disuarakan Prabowo Subianto dalam setiap kesempatan. Membangun Kembali Indonesia Raya, Haluan Baru Menuju Kemakmuran, bahkan terbit satu tahun setelah Partai Gerindra berdiri.
Dari sudut pandang mengkritisi pelaksanaan Pasal 33 dan 34 saja dulu. Prabowo mengajak kita semua, sebagai bagian bangsa Indonesia, harus bersama-sama mengawal, mencermati sekaligus mengevaluasi kritis, apakah betul semua produk perundang-undangan dimaksud telah dilaksanakan dengan konsekuen dan benar? Oleh karena kita tidak bisa berhenti pada produk perundang-undangan saja, tetapi harus sekuat tenaga melaksanakannya. Sehingga sikap apa yang pernah diteladani para Bapak dan Ibu Bangsa Indonesia, sebelum kemerdekaan kita diproklamasikan, tidak menjadi sia-sia.***
*) Sebagian dari tulisan ini dalam bentuk yang berbeda, pernah digunakan sebagai makalah sosialisasi yang dilakukan Wakil Ketua DPR dan Ketua Komisi IV Edhy Prabowo, MM, MBA, pada 27 Maret 2015. Judul asli: ”Perubahan Pasal 33-34 UUD 1945 dan 6 Program Aksi Transformasi Bangsa Partai Gerindra 2014-2019: Sebuah Refleksi.
Penulis: Imelda Bachtiar