Imelda Bachtiar
Dari pelosok Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, 12 April 2018. Indonesia dikagetkan oleh kenyataan mengenaskan: pernikahan sepasang anak usia sekolah menengah pertama. Mempelai anak-anak berusia 14 dan 15 tahun. Ini bukan yang pertama. Kejadian perkawinan usia anak di Indonesia telah ribuan kali berulang, atas nama kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan, dan kini agama dan adat setempat juga ikut andil. Seorang Andung (adik nenek dalam kekerabatan Minang) saya yang telah almarhum, pernah berkisah, ia dinikahkan ketika baru menstruasi dan melahirkan anak yang sangat rapat jaraknya. Anaknya 12 orang.
Kini di tahun 2018, kita kemudian baru tertampar setelah media sosial memviralkan tatapan mata kedua korban yang teramat lugu dan polos, berpakaian pengantin. Media sosial pula yang membuat jarak 1.700 kilometer dari Jakarta ke Bantaeng itu seakan di depan mata kita.
Pengantin anak adalah korban. Sejatinya, seluruh hak mereka sebagai anak-anak telah hilang. Hak beroleh pendidikan setinggi mungkin dan jaminan kesehatan yang paling jelas, terutama untuk anak perempuan, menjadi pupus. Anak perempuan yang mungkin baru saja mengalami menstruasi pertamanya, menjadi sangat rentan kesehatan reproduksinya bila ia hamil. Anak yang dikandungnyapun boleh pasti menjadi “stunting generation“, generasi yang terhambat semua aspek perkembangan tubuh, terutama otak dan kesehatannya secara umum. Belum lagi bicara soal mental psikologis si ibu, yang melahirkan dan menimang buah hati di usia 14 tahun!
UNICEF di tahun 2016 sudah mengeluarkan pernyataan berdasar temuan di beberapa negara di dunia. Yaitu, komplikasi saat kehamilan dan melahirkan adalah penyebab kematian kedua terbesar untuk anak perempuan pada usia 15-19 tahun. Juga kenyataan global bahwa bayi yang lahir dari ibu yang berusia di bawah 20 tahun, berpeluang 1,5 kali lebih besar untuk meninggal sebelum usia 28 hari, dibandingkan bayi yang lahir dari ibu berusia 20-30 tahun.
Kembali ke kasus Bantaeng dan banyak kasus lain seantero nusantara. Siapa bertanggungjawab? Kita semua. Kalau kita diam saja, berarti kita “membunuh” jutaan anak pada masa depan Indonesia. Anak perempuan yang paling rentan menjadi korban. Mengapa? karena bila terjadi perkawinan anak, maka anak perempuanlah yang terancam dalam segala lini kehidupan setelahnya. Karena ia harus melahirkan, menyusui dan membesarkan anak, dan kehilangan kesempatan bersekolah setinggi mungkin. Juga, ekses berikutnya, ia bisa menjadi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Itulah sebabnya saya sangat setuju ketika kemarin, 24 April 2018, aktifis dan peneliti senior kajian Islam, isu perempuan dan gender, Lies Marcoes Natsir mengajak kita bergerak dan berbuat kebisingan. Bila setiap kita -lelaki dan perempuan- bergerak dalam kapasitas masing-masing dan merapatkan barisan.
Adalah dosa amat besar mengabaikan ini semua terjadi pada anak-anak perempuan di seluruh Indonesia. Maka, paling tidak ada tiga langkah awal yang bisa kita lakukan.
PERTAMA, bicara, tulis, sebarkan. Dalam setiap upaya lakukan tiga hal itu terus menerus. Ini bentuk kampanye yang paling dasar untuk membangun kesadaran bersama.
KEDUA, yang dibicarakan, ditulis dan disebarkan adalah: STOP PERKAWINAN ANAK. Dengan satu kata: fokus.
KETIGA, lakukan gerakan ini dalam sinergi. Bangunlah jaringan kerja. Jangan bicara kepentingan yang terkotak-kotak, karena politik atau keyakinan agama. Berbuatlah karena kita orang Indonesia. Setuju dengan Ibu Lies Marcoes, bekerja dan berbuatlah dalam semua tingkatan. Dari kampung/kelurahan sampai negara.
Mari, bergandengan dan berbuat bersama. Kita selamatkan anak-anak yang kelak akan jadi pemimpin bangsa Indonesia.***
Imelda Bachtiar, alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (1995) dan Kajian Gender Universitas Indonesia 2010, kolomnis, penulis buku dan pemerhati isu perempuan. Kolom ini dalam bentuk yang telah disunting, telah muncul di kompas.com pada 26 April 2018.