Oleh: Imelda Bachtiar
BAGAIMANA CARA PEREMPUAN AMBIL BAGIAN DI LEMBAGA LEGISLATIF?
PERLUKAH PENDIDIKAN POLITIK BAGI PEREMPUAN?
BAGAIMANA CARA KALAHKAN CALEG LELAKI DAN MERUNTUHKAN DOMINASI MEREKA DI RANAH POLITIK?
CALEG PEREMPUAN BEKALNYA APA?
Siapa tak kenal Rocky Gerung? Perawakan kecil, kurus yang memang disebutnya dijaga betul supaya kuat naik gunung tinggi, dan kulit cerah dengan wajah khas Kawanua, kacamata dan sweater yang kadang tersampir di bahu. Ia juga mudah dikenali dengan kostumnya yang tak jauh dari dua warna: putih dan biru.
Tapi setahun-dua belakangan ini ia paling disimak (bahkan juga dihujat orang) lewat banyak pernyataan kontroversialnya mengkritik Presiden Joko Widodo dan berbagai kebijakan dalam era pemerintahannya. Dengan artikulasinya yang unik, dan penjelasannya yang dimulai dengan frasa, “Kita mulai pelan-pelan…”, Rocky memang lebih pas dengan profesi dosennya, daripada pengamat politik di televisi.
Tanpa tedeng aling-aling ia menggunakan diksi: dungu, planga-plango. Kadang bikin telinga merah, tetapi menurut saya, ia tak asal ngomong karena punya basis data dan landasan pikiryang kuat. Analisisnya bahkan sering bikin banyak orang terdiam, menyadari ia benar. Hampir setiap saluran televisi, koran, radio, tak luput meminta komentarnya tentang satu dua topik yang sedang hangat dibicarakan.
Dosen Departemen Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini, juga bikin banyak orang kagum dengan begitu banyak buku dan pemikiran ilmuwan yang bisa dirangkumnya dalam banyak tuturan singkat. Ia memang pembaca ulung, bukan sekadar kutu buku.
Rocky Gerung lahir di Manado 20 Januari 1959, menempuh studinya di Universitas Indonesia pada tahun 1986 dan memperoleh gelar sarjana sastra. Ia tumbuh dan besar dalam keluarga sangat berkecukupan di Jakarta. Teman-teman masa kuliahnya mengingat ia pelalap segala buku. Bukan membaca karena terpaksa ada tugas kuliah. Itulah sebabnya dengan bahasa sederhananya di dalam ruang kuliah Wacana Feminis, misalnya, ia bisa menerangkan pemikiran sulit para filsuf feminis seperti Luce Irrigaray, Simon de Beauvoir sampai Virginia Woolf, dengan kalimat yang menarik dan cepat ditangkap oleh para muridnya. Sampai saat ini, ia masih menjadi staf pengajar di Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI).
Rocky juga sangat aktif menulis di berbagai media massa. Sejak tahun 2006 aktif di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) dan turut mendirikan SETARA Institute pada tahun 2007, sebuah perkumpulan yang bergerak bagi pencapaian cita-cita yang menekankan perlunya kesetaraan dan penghormatan atas keberagaman.
Walapun banyak pernyataannya kontroversial, Rocky narasumber politik paling banyak penggemar saat ini. Namanya melejit lewat Indonesia Lawyer Club, sebuah acara bincang topik politik diTVOne yang digagas dan dibawakan wartawan senior Karni Ilyas. Karni biasa memanggilnya “Profesor” walaupun Rocky selalu bilang, ia bukan profesor, dan tidak tertarik menjadi profesor. Anda bisa cari tahu sendiri lewat internet, apa saja yang disoroti pria Manado paruh baya ini tentang pemerintah dan kebijakannya. Kita ketik namanya di pencarian topik YouTube, misalnya, maka bisa ratusan entri keluar.
Tetapi kali ini, ia bicara soal yang sama sekali lain: perempuan di lembaga legislatif. Pendapatnya yang jarang sekali muncul dalam talk show televisi. Banyak orang tidak tahu, pemberdayaan perempuan justru bidang sejatinya, karena ia memang staf pengajar di Program Studi Kajian Gender (dahulu namanya Kajian Wanita) Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, sejak tahun 2000-an. Terutama aktif mengajar pada 2008-2010. Ia juga redaktur ahli pada Jurnal Perempuan.
Wawancara eksklusif ini dilakukan tim Infokom PIRA sebelum ia tampil menjadi pembicara Seminar Kebangsaan “Merawat Demokrasi, Mengawal Konstitusi, Menyambut Transisi” di Hotel Santika Depok, 7 Oktober 2018. Anda juga bisa menonton videonya pada segmen yang lain.
Berikut wawancara Imelda Bachtiar dari Infokom PIRA dengan Rocky Gerung.
Bagaimana kita harus melihat kebijakan afirmasi 30 persen perempuan sejak diundangkan lewat UU No. 10 Tahun 2008?
(Kebijakan Afirmasi 30% perempuan dirilis tahun 2008. Setiap partai politik peserta pemilu harus mengajukan minimal 30% perempuan dalam daftar calon anggota legislatifnya –red).
Saya kira musti dirumuskan begini, kebijakan itu menunjukkan kebutuhan. Kenapa kebutuhan? Karena selama berabad-abad politik itu dikendalikan oleh patriarki. Itulah sebabnya politik yang adil harus melibatkan mereka yang paham tentang justice (keadilan –red) dan perempuan adalah persona yang paling paham tentang keadilan.
Perempuan, seluruh aspek hidupnya dikendalikan oleh ketidakadilan itu, yang kita sebut gender inequality (ketidakadilan gender –red). Undang-undang itu, atau yang biasa kita sebut sebagai affirmative action, adalah keinginan untuk menghasilkan kebijakan yang adil gender dan hanya bisa dihasilkan oleh mereka yang peka terhadap keadilan.
Itu pentingnya perempuan membentuk kaukus di parlemen supaya ada fokus terhadap ide. |
Saya mendorong seluruh aspek yang dimiliki perempuan sampai ke daerah, menjadi caleg perempuan. Itu diminta oleh peradaban dan dituntut oleh sejarah untuk mengambil peran demi mengembalikan injustice (ketidakadilan –red) yang berabad-abad hilang dari peradaban kita. Apalagi melihat keadaan republik kita hari ini. Orang sangat memerlukan the idea of justice dan itu adalah sinopsis dari politik perempuan.
Bagaimana cara memopulerkan gerakan “Perempuan dalam Politik”. Kita di Indonesia sepertinya tidak terlalu biasa dengan ini?
Dia tidak perlu dipopulerkan, hanya perlu diingatkan ulang bahwa dalam politik kesetaraan itu diukur berdasarkan kapasitas. Itulah maka laki-laki ataupun perempuan datang dengan prinsip yang sama. Yaitu, saya warga negara, jenis kelamin saya laki laki, dan kamu warga negara, jenis kelamin kamu perempuan. Semua setara dalam politik.
Justice, atau keadilan itu setara. Tidak bisa perempuan dicap tidak mampu.
|
Misalnya, karena dia perempuan maka dia tidak mampu membuat kalkulasi ekonomi makro, maka itu jangan ikut di badan anggaran. Itulah yang disebut sebagai diskriminasi sebetulnya.
Sekarang kita lihat, sudahlah kalau Anda perempuan, jangan duduk di Komisi 1, Komisi 1 urusannya pertahanan keamanan. Padahal, otak perempuan itu lebih peka untuk mengendalikan nuklir dibandingkan dengan otak laki-laki. Jadi, seluruh mitos itu mustinya kita hapus.
Seluruh aspek kehidupan publik adalah wilayah keadilan, baik buat perempuan maupun laki-laki.
|
Nah, hambatannya tentu ada kultur, tradisi. Tetapi hambatan itu bisa diselesaikan dengan adanya satu kesepakatan. Selanjutnya, kesepakatan itu diaktifkan setiap hari oleh akal pikiran perempuan.
Saya percaya akal pikiran perempuan mampu untuk menghasilkan keadilan bagi republik ini.
|
Saya ingin mendorong agar semua masyarakat bisa melakukan itu. Orang bisa bertanya, “Do you speak english?” Tetapi kini orang seharusnya juga didorong untuk bertanya, “Do you speak gender equality, do you speak environmental ethics, do you speak feminism?”
Kalau seorang politisi tidak bisa bicara hal-hal itu, artinya dia buta huruf terhadap keadilan itu. Keadilan, orang tidak bilang tentang pembagian hak lagi, orang bicara tentang distribusi human development index, itu semua ukuran baru. Para caleg perempuan harus mahir dan harus mampu membaca dan memahami ini dengan baik.***