Edriana Noerdin
Siang 28 April 2018, saya diajak oleh para ibu Srikandi Indonesia Raya (SiRa), kelompok relawan Partai Gerindra, datang ke rumah Hambalang. Kediaman Bapak Prabowo Subianto. Acara siang itu dihadiri lebih dari 700-an relawan dari berbagai tempat, datang bergelombang dengan kendaraan sendiri. Haus pengetahuan ingin mendengar situasi terkini kondisi bangsa dari sang tuan rumah.
Sebagian besar kami datang tepat tengah hari. Segera registrasi dilakukan dan kami diminta meninggalkan telepon selular di luar ruangan, yang segera disusun rapi dan diberikan nomor penyimpanannya. Ternyata, itu kebiasaan tuan rumah, karena tidak ingin pertemuan disibukkan dengan acara swafoto, foto bersama dan rekam-merekam kegiatan yang akan mengurangi fokus dan konsentrasi peserta. Semua dilakukan begitu cepat dan teratur.
Terlihat tuan rumah sudah biasa menerima tamu dalam jumlah yang sangat banyak. Sekitar 600 tamu tak butuh waktu lama untuk langsung dipersilakan menuju ruang makan. Ruangan bernuansa kayu jati yang terkesan adem telah dilingkungi susunan kursi yang juga berderet rapi. Suasana nusantara juga tersurat dari senarai kulinernya: nasi liwet, gulai nangka, rendang, gulai ayam, sayuran, sate ayam dan soto madura dengan aroma yang sedap merebak ke seluruh ruangan. Semua mengantri dengan gembira sambil bersilaturahmi.
Tepat satu jam berikutnya, semua tamu diminta menuju ruangan seminar. Ruang itu juga berdaya tampung ratusan orang. Biasanya, presentasi, diskusi kebangsaan dan kebutuhan lain yang sifatnya berbagi pengetahuan, dilakukan di ruang ini. Semuanya mencerminkan pilihan tuan rumah mendedikasikan diri untuk pengembangan pengetahuan dan kecintaan terhadap bangsa dan tanah air. Ruang belajar menghormati jejak dan alur kisah para pahlawan bangsa, karena nantinya seluruh ruangan akan dihiasi foto para pahlawan. Wujud bagaimana bangga dan cintanya tuan rumah atas apa yang telah mereka lakukan. Kita tinggal mengisi apa yang telah mereka perjuangkan, begitu pesan tersiratnya.
Kemudian, tak lama menunggu, sang tuan rumah memasuki ruangan disambut dengan riuh rendah tepukan tangan para tamu. Terlihat sekali banyak tamu yang menitikkan air mata bisa bertemu langsung dengan Pak Prabowo Subianto, orang yang selama ini mereka anggap bisa menyuarakan hati nuraninya.
Setelah menyapa tamu dan mengucapkan terima kasih karena para tamu bersedia datang jauh-jauh ke Hambalang, sang tuan rumah kemudian bertanya apakah tamu sudah makan siang? Bagaimanakah penyambutan para staf di sana? Apakah semua kebutuhan sudah terlayani? Setelah berbagai pertanyaan keramah-tamahan itu baru Ketua Umum Partai Gerindra ini memulai pidatonya.
Pidatonya menarik, artikulatif, dan sang pembicara ini punya kemampuan tinggi merangkul perhatian semua pendengarnya. Dalam dua jam tanpa putus, ia sangat rileks menjelaskan konten ringan sampai sulit, humanis, sampai bermuatan sejarah. Sulit maksud saya, misalnya, tentang budaya bangsa Indonesia, filsafat tari-tarian perang di keraton-keraton. Bahkan, beliau tidak segan-segan mempertontonkan tarian tersebut yang disambut tepuk tangan dan gelak-tawa para tamu.
Lalu, beliau juga menampilkan angka-angka ketimpangan sosial, kemiskinan, angka kurang gizi, angka stunting yang sangat tinggi di setiap propinsi di Indonesia, kondisi lahan dan lingkungan hidup, ketahanan pangan dan keamanan nasional, ekonomi dan keuangan. Semua menjadi kita mafum betapa banyak buku rujukan pemikirannya yang telah dibaca selama ini.
Uniknya, tidak lupa beliau mengatakan tentang kekuatan emak-emak yang sudah terbukti sejak zaman perang ikut merebut kemerdekaan, perjungan para perempuan di tingkat lokal, nasional dan di belahan dunia lain. Beliau mengatakan perempuan sebagai tiang keluarga dan bangsa, serta bagaimana seorang anak harus patuh dan menghormati ibunya seperti pengalaman pribadi beliau sendiri.
Prabowo Subianto, seperti yang banyak kita saksikan di televisi, selalu melakukan pidato penuh data, tanpa teks. Beliau dikenal sangat paham kondisi bangsa dan mampu menampilkan dengan fasih semuanya itu di luar kepala. Ciri khas seorang pembaca buku yang cerdas dan mampu berpikir analitif.
Sekali-kali dalam gaya pidatonya yang khas, orasi kebangsaan, mampu membakar rasa nasionalisme pendengar. Beliau mengatakan, sekali-kali perlu pidato dengan irama membakar semangat agar pendengar terbangun, tidak loyo, tidak ngantuk dan tidak pesimis sebagai bangsa. Ini sense of humour yang sangat tinggi, jauh dari angker, jauh dari emosi yang meledak-ledak, sangat jauh dari “citra” tertentu yang sudah dilekatkan orang padanya. Ia satu dari sangat sedikit pemimpin yang tersisa, yang mampu menggabungkan intelektualitas, nasionalisme, ketegasan, keberpihakan dan kepemimpinan. Sangat merugi bila Indonesia tidak bisa melihat dan menghargai kualitas kepemimpinan yang mampu berpikir secara komprehensif tentang kondisi lokal, nasional dan global pada diri beliau.
Pada mulanya, saya menyesali aturan tidak boleh membawa telepon seluler saya memasuki ruangan. Sehingga saya tidak bisa mengabadikan beliau berpidato, merekam kata-katanya dan memotret keindahan ruangan tersebut. Tetapi, setelah mendengar pidato beliau yang lebih dari dua jam, saya menjadi paham. Semua orang sangat fokus mendengarkan sehingga tidak ada yang sibuk berfoto-foto. Semua mendengar paparan beliau. Audience sepanjang acara sering sekali bertepuk tangan dengan gemuruh, atau tertawa dengan riang bahkan beberapa kali terlihat berurai air mata mendengar pidato beliau yang mampu membangkitkan rasa nasionalisme, berpihak pada wong cilik, pada keadilan dan pada nilai-nilai demokrasi yang sangat diyakininya. Usapan demi usapan air mata terlihat dengan jelas dilakukan oleh peserta yang memang terpanggil jiwa raganya untuk membela kebenaran dan keadilan di negeri ini.
Kemudian, pukul 16.30, acara ditutup dengan foto bersama untuk masing-masing kelompok di ruang kerja beliau sehingga para tamu berkesempatan keliling ruang kerja tersebut.
Setelah selesai acara terlihat para tamu pulang dengan muka optimis, antusias, gembira, lalu mereka berfoto di setiap sudut dari lingkungan rumah Hambalang. Suasana akrab seperti piknik keluarga, ada orang tua membawa anak-anaknya, ada teman disabilitas, ada perempuan laki-laki, tua dan muda.
Penuh keyakinan mereka semua pulang dengan terlihat semakin meneguhkan hati, menyamakan langkah, menguatkan tekat dan menyatukan irama perjuangan untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan kemanusiaan di bumi pertiwi. Semoga langkah anda diridhoi yang Maha Kuasa, Pak Prabowo Subianto! ***
*) Penulis adalah pemerhati isu perempuan dan gender sejak 1986, bertempat tinggal di Jakarta. Tulisan ini telah dimuat dalam Facebook Page PIRA tanggal 30 April 2018.