Kata Pengantar : Imelda Bachtiar
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera untuk kita sekalian.
Salam Indonesia Raya!
Sahabat pembaca Situs PIRA.co.id,
Puji syukur kepada Allah SWT, kita dikaruniai kesehatan dan kebahagiaan sampai hari ini. Sehingga kita bisa duduk bersama membaca situs ini dari rumah kediaman kita masing-masing.
Bulan ini, juga kita akan kenang sepanjang sejarah Tentara Nasional Indonesia sebagai bulan yang duka. Republik Indonesia tercinta baru saja kehilangan 53 patriot bangsa, pelaut tangguh yang dijuluki Hiu Kencana, dalam musibahnya tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 di laut sekitar Pelabuhan Celukan Bawang, Bali. Mereka dinyatakan hilang sejak 21 April 2021 dan pencariannya merebut perhatian dan doa seluruh bangsa. Tuhan berkehendak, mereka tak pernah ditemukan dan dinyatakan “on eternal patrol”, bertugas patroli untuk selamanya. Ini istilah TNI Angkatan Laut untuk para patriotnya yang gugur dalam penugasan di laut dan tidak pernah kembali lagi. Doa kita semua untuk para patriot bangsa yang paripurna tugasnya ini.
Namun, jangan kita lupakan pula, April adalah bulan kemenangan dan kemerdekaan kaum perempuan Indonesia. Tanggal 21 April yang diperingati setiap tahun sebagai hari lahir tokoh pahlawan nasional R.A. Kartini, juga dirujuk sebagai hari perjuangan kesadaran kaum perempuan akan pentingnya pendidikan dan kesehatan, tahun ini berlangsung tak segembira biasanya. Saya menandai dua pertanda kesuraman itu
Bahkan harian Kompas beberapa minggu yang lalu menurunkan dua liputan memilukan tentang perempuan muda di tanah air. Yang pertama tentang bagaimana mereka bisa masuk dalam jaringan teroris berbasis agama Islam. Yang kedua tentang bagaimana angka perkawinan usia anak melonjak di masa pandemi. Dua kenyataan yang sangat menghenyakkan siapapun yang menyadarinya.
Sahabat pembaca Situs PIRA.co.id,
Pada edisi kali ini, saya perkenalkan tiga orang penulis kolom dan pengisi konten tetap yang baru. Ketiganya akan mengisi khasanah kita tentang persoalan perempuan dan gender yang layak mendapat perhatian kita semua. Ibu Sita Aripurnami, Ibu Lies Marcoes dan Ibu Edriana Noerdin adalah nama-nama yang tidak asing bagi keluarga besar Partai GERINDRA, karena ketiganya sering sekali mengisi acara sebagai pembicara di berbagai pelatihan di lingkungan Partai GERINDRA.
Dalam bidang penelitian perempuan dan gender, ketiganya juga sangat mumpuni. Ibu Sita dan Ibu Edriana adalah pendiri Women Research Institute (WRI), sebuah lembaga penelitian perempuan yang aktif selama 30 tahun merintis dan mempraktikkan penelitian-penelitian dengan perspektif perempuan dan gender. Ibu Edriana, tambahan lagi adalah politisi perempuan dengan pengalaman yang tebal, karena pernah langsung berpolitik praktis dalam ajang pencalegan tahun 2019. Dalam situs PIRA, Ibu Edriana akan kita tampilkan dalam bentuk beberapa programnya yang menarik dalam sebuah video di kanal youtube-nya: EDRIANA VIEWS. Dalam situs PIRA.co.id kali ini, kita akan mendengar dua program yang sudah tampil di EDRIANA VIEWS, yaitu wawancara Ibu Edriana dan Ibu Lies Marcoes tentang tren/kecenderungan perempuan muda terseret arus radikalisme berbasis agama dan akhirnya membuat aksi terorisme.
Tentu saja sudah tersebut tadi Ibu Lies Marcoes, pendiri RUMAH KITAB dan feminis-peneliti isu perempuan dan Islam yang sudah sangat senior dan mumpuni untuk penelitian-penelitian dalam isu ini.
Semoga karya-karya mereka yang saya tampilkan di sini, dapat menjadi pemantik pertama untuk kita mengisi hidup kita dengan karya.
Masih di bulan April yang akan segera berlalu ini, saya kembali ingat ungkapan Kartini yang sangat terkenal. Hanya dua kata. AKU MAU!
Selamat membaca.
Salam Indonesia Raya,
Imelda Bachtiar.
Tahun 2020 sudah kita tinggalkan hampir empat bulan. Ini refleksi kita semua tentang tahun yang campursari ini. Saya tidak mau menyebutnya sebagai tahun duka, tahun yang hitam atau sebutan suram lainnya. Saya ingin memperbesar aura positif 2020, bukan sebaliknya. Saya ingin menandainya sebagai tahun yang kesenangan dan kedukaannya datang silih-berganti dengan cepat bagai kereta roller-coaster Halilintar di Dunia Fantasi Ancol. Kedukaan dan kepedihan tentulah yang keras kelirnya. Tahun yang dicatat sejarah sebagai tahun yang baru dua bulan berlalu tetapi kita telah ditampar masa wabah yang virusnya betul-betul baru. Namanya Corona Viruses Disease 2019 karena ditemukan akhir tahun 2019, yang kemudian kita kenal dalam singkatan populer: Covid-19.
Saya hanya ibu rumah tangga yang bisa menulis, maka saya mencoba memotret dari sudut pandang saya, dan semoga justru bisa sedikit memberi senyum harapan di paruh awal tahun ini.
Awal Maret, tempat tinggal saya, Depok, jadi istimewa karena tiga orang pertama yang terpapar Covid-19 di Indonesia, asalnya dari Kelurahan Sukmajaya, Depok. Hanya sepelemparan batu dari rumah saya. Maka, tak heran kalau para ibu di sini, dalam berbagai media komunikasi, agak gempar, sibuk bertukar pendapat. Kami lalu jadi sering ke apotek, bertukar pengetahuan soal vitamin dan herbal yang berkhasiat, tetapi harganya terjangkau. Saya masuk ke apotik resmi dan ternganga ketika mendapati harga masker biasa dalam boks yang semula Rp40-50 ribu, melonjak sepuluh kali lipat. Vitamin C biasa, lenyap dari pasaran. Tidak panik, tetapi tanda-tanya mulai membesar. Kenapa barang-barang krusial penangkal pandemi ini tidak dikontrol harganya oleh pemerintah?
Beberapa minggu berlalu, pasokan bahan segar berkurang. Bukan karena tak ada, tetapi orang menghindar ke pasar tradisional karena virus diketahui menyebar cepat di sana. Untunglah, di dalam kompleks rumah kami ada sepasang suami istri muda yang berinisiatif mengulak sayur dan ikan di Pasar Induk Kramat Jati. Sampai sekarang kami -100 rumah- sangat tertolong olehnya.
Pertengahan Maret, semua pelajar di Indonesia, dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi mulai belajar dengan cara jarak-jauh, menggunakan gawai atau laptop. Aral beragam. Mulai dari tak punya gawai, tak punya jaringan internet, sampai tak punya pulsa. Belum lagi anak-anak yang turun semangatnya setelah satu bulan belajar di rumah. Bagaimana pun, kata teman saya, wartawan senior Dudi Sudibyo, belajar atau bekerja itu perlu human touch. Kita kehilangan itu semua bila hanya bertemu di dunia maya. Belajar atau bekerja dari rumah yang sebelumnya kita pikir hanya berlangsung sebentar, ternyata sampai sepanjang tahun.
Awal Mei, masih terhitung awal pandemi ini, saya kehilangan selamanya keponakan tersayang yang usianya baru 19 tahun karena serangan sakit yang diawali beberapa menit sesak nafas. Dengan airmata berlinang, saya hanya bisa menyaksikan pemakamannya dalam protokol Covid-19 lewat video yang disebar untuk keluarga. Almarhumah bukan terkena Covid-19, tetapi (waktu itu) semua yang meninggal dunia tanpa ketahuan sakitnya, mendadak, dan belum sempat diperiksa darah, harus dimakamkan dalam protokol kesehatan Covid-19. Selang beberapa minggu kemudian, seorang narasumber buku saya, Dari Capung Sampai Hercules, seorang penerbang Hercules yang masih aktif bertugas di Halim Perdanakusuma, juga meninggal dunia dalam usia muda karena terpapar Covid-19. Almarhum hanya dirawat dalam hitungan minggu. Saya masih ingat almarhum memperkenalkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil, usia SD, ketika selesai saya wawancarai untuk buku itu di skadronnya, tiga tahun yang lalu.
Kematian orang-orang terdekat karena virus ini, sahabat atau kerabat kita dalam keseharian, apalagi anggota keluarga, rasanya seperti hantaman yang datang silih-berganti tiada habis di masa wabah ini. Ketika belum banyak orang –bahkan ahli sekalipun- yang tahu tentang profil virus ini, kita pelan-pelan terpuruk secara mental, kesehatan jiwa tergerus. Padahal, jiwa yang sehat dan bahagia, rupanya belakangan diketahui justru menjadi modal bertahan dan produktif di tengah pandemi.
Bertahan di Tengah Pandemi
Bukan cuma mental, tetapi juga ketahanan ekonomi. Setiap negara di dunia, diuji habis-abisan ketahan ekonominya oleh Covid-19. Sektor yang duluan ambruk adalah pariwisata. Mudah diduga sebabnya. Ada larangan besar-besaran perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lain, dan ini berlaku di seluruh dunia. Di Indonesia, Pulau Bali paling terpuruk. Semua karena satu dunia ini berseragam sikap: mengurung warga negaranya di dalam rumah. Kita mengurung diri sendiri.
Maka, bagaimana pula cara kita bertahan, menjadi pertanyaan dalam hati semua orang. Pada bulan-bulan pertama, kelas menengah mulai menggunakan tabungannya. Tetapi kelompok yang “bekerja hari itu untuk makan hari itu”, kita saksikan semakin lemah. Gotong-royong -sifat bangsa Indonesia- diuji. Satu persatu kita saksikan mereka yang kehilangan pekerjaan sampai tak mampu lagi membayar uang sekolah anak dan mulai satu-persatu melego barang berharga yang bisa dijual. Seorang teman bahkan sudah sampai menawarkan rumah satu-satunya yang saat ini ditinggali, lewat medsos. Semua karena bulan demi bulan terus berjalan tanpa pemasukan.
Seperti kata ekonom Dr. Chatib Basri (“2021: Antara Pandemi dan Pemulihan Ekonomi”, tulisan kolom di feb.ui.ac.id) dan saya setuju, tahun ini membawa diagram masyarakat persis seperti huruf “K”. Si kaya (ini bisa berarti individu atau perusahaan) berada di kaki yang merujuk ke atas, terus menjulang naik. Sebaliknya si miskin di kaki yang bawah terus merujuk ke bawah. Artinya, mereka semakin miskin dan tak mampu menyokong kehidupan diri dan keluarganya sendiri, bahkan pada kebutuhan paling dasar yaitu makan sehari-hari.
Saya tentu saja bukan ekonom, itu sebab saya mengutip ahlinya. Dalam kolomnya itu Chatib memperkenalkan wujud pemulihan ekonomi masa wabah ini sebagai pemulihan ekonomi berbentuk K-shaped, sebuah istilah yang dipopulerkan Peter Atwater dari William and Mary sekitar April 2020. Intinya: pemulihan akan berlangsung secara tidak merata, ada yang naik ke atas dan ada yang turun ke bawah, persis seperti huruf K. Sektor-sektor yang membaik terutama yang berkaitan dengan perusahaan teknologi, kesehatan, atau mereka yang memiliki tabungan. Namun, ada sektor yang ambruk, misalnya perusahaan kelas menengah, atau kelompok marjinal yang tak punya tabungan. Justru Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), kini mendapat tempat sangat baik.
Suara Ibu Peduli
Bisakah kita bertahan? Dengan unik, Yang Maha memberikan makhluknya jalan keluar yang beragam tak ada habisnya. Pintu tertutup di sini, pintu terbuka di tempat lain.
Saya lalu ingat sebuah gerakan di masa krisis moneter 1998: Suara Ibu Peduli. Gerakan yang dipelopori para ibu yang tergerak membantu mereka yang terkena krisis sampai di-PHK dan tidak bisa membeli susu atau makanan untuk anaknya. Ibu atau perempuan adalah motor gerakan ini.
Kini, perempuan juga kebanyakan menjadi motor gerakan bertahan di tengah pandemi. Satu contoh sudah saya ceritakan: kulakan sayur di Pasar Induk. Ada lagi gerakan membuat masker kain tiga lapis dan penggalangan dana untuk membeli Alat Pelindung Diri (APD) bagi klinik-klinik kecil di Depok. Saat itu, klinik kecil hampir terlupa, padahal pasien terpapar pasti terlebih dulu berobat ke klinik kecil.
Ibu-ibu yang bisa masak dan masakannya lezat, kini punya kesempatan mengumpulkan rupiah. Banyak keluarga takut ke restoran dan memilih membeli masakan rumah karya teman untuk disantap sehari-hari. Setiap hari WAG penuh dengan tawaran menu-menu rumahan yang lezat. Tanpa sadar, imun tubuh semakin tebal di tengah rasa bahagia ini.
Jika berbelanja dari tetangga inipun dinilai berbiaya tinggi, para ibu kini putar otak dan berupaya melakukan apa yang disebut environmental feminist Vandana Shiva sebagai ekonomi subsisten. Yaitu, berusaha memenuhi kebutuhan sendiri dari upaya sendiri. Mulailah tanaman pangan memenuhi halaman rumah kita, juga memelihara sumber protein hewani, semisal lele, secara kelompok untuk dikonsumsi bersama.
Leftover
Kalau kita ketik di mesin pencari data di internet, leftover artinya “something, especially food, remaining after the rest has been used or consumed”. Dalam bahasa Indonesia, padanan yang kurang lebih mirip adalah “koretan” atau sisa makanan. Bukan cerita baru kalau ibu-ibu kita zaman dahulu pantang membuang makanan. Bahkan masakan sisa semalam bisa diolah lagi, dihangatkan, dan menjadi hidangan koretan yang lezat untuk sarapan pagi.
Inilah bagian dari masa pandemi yang membuat saya tersenyum simpul. Walaupun mengolah sesuatu dari sisa bahan atau sisa makanan yang disimpan di kulkas bukan sesuatu yang baru dalam kultur Indonesia, tetapi akhir-akhir ini menjadi jawaban dan keunikan tersendiri. Harian Kompas bahkan pernah menulis tentang masakan-masakan koretan dari masa dahulu, misalnya Sayur Babanci asal Betawi atau Kalio Hati Ayam, hidangan Minang yang dihangatkan sampai kering hingga menjadi seperti Rendang Hati.
Tetapi, yang terjadi di masa pandemi adalah menciptakan hidangan baru dari mengorek isi kulkas atau memanfaatkan buah yang sudah terlalu matang. Pisang, paling sering. Warna kecokelatan dan daging yang sudah lembek, bisa disulap menjadi bolu pisang yang lezat. Lalu, bermunculanlah resep bolu pisang dari bahan hampir dibuang ini. Kita bisa mengerjakannya karena mudah. Ubah sana-sini resep terjadi sesuai keinginan. Lalu, cekrek! Hasilnya ketika baru keluar panggangan dipamerkan di akun media sosial masing-masing. Emoji senyum bertebaran, dan rasa gembira menguar di antara yang melihat. Saya termasuk yang sering mencoba resep yang ditebarkan teman-teman di masa pandemi. Tak perlu bertatap muka, kita seperti “masak bersama”.
Perempuan, Sumber Asa di Tengah Pandemi
Bulan April, bulan perempuan Indonesia, juga belum berlalu. Semoga juga membawa semangat berlebih di hati semua perempuan Indonesia. Walaupun duka pandemi masih ada, dan kita harus selalu hidup dengan protokol kesehatan, tetapi optimisme kian membuncah. Kita mulai membentengi diri, karena vaksinasi terus berproses. Rumah adalah titik awal, darimana kita memulai semangat untuk menjaga diri dan keluarga agar tetap sehat.
Maka, apa perlu ragu dan pesimis menatap tahun 2021 yang kini telah memasuki bulan keempatnya ini? Seperti kata iklan, “Tentu tidak!” Tentunya tetap bermasker, mencuci tangan dan jaga jarak, dan kini ditambah dengan segera bervaksin. Kita menjalani tahun 2021 dengan jiwa dan fisik yang sehat. Dan, dengan penuh harapan, kita yakin pandemi akan berlalu. Semangat! ***