KIAI Ma’ruf Amin tidak dilibatkan dalam pertemuan Joko Widodo (Jokowi) dengan ketua-ketua partai pendukung, Rabu (16/1/2019). Pesan yang sampai ke publik tentu negatif, seperti Kiai Ma’ruf dianggap kurang penting dan tidak dianggap sebagai aktor pemain utama dalam pemilu presiden (pilpres) nanti.
Terlebih lagi, alasan yang dikemukakan Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi, Erick Tohir, sangat sepele, yaitu tidak ada kursi.
Anda bisa mengatakan itu hanya interpretasi yang sangat politis dan subyektif. Namun, saya mengingatkan TKN, soal-soal semacam ini tidak boleh diremehkan. Pilihan politik adalah soal persepsi pemilih atas pasangan calon.
Banyak variabel terkait persepsi ini, salah satunya yang terpenting adalah kekompakan antara calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Karena, mereka akan bekerja sebagai sebuah tim dalam mengelola negara nanti.
Bagaimana Anda meyakinkan pemilih atas visi dan misi Anda jika Anda tidak bisa meyakinkan pemilih bahwa Anda satu visi dengan pasangan Anda? Dan, menafikan Kiai Ma’ruf untuk hadir dalam rapat-rapat itu menjadikan publik bertanya,
“Di mana posisi Kiai Ma’ruf dalam konstelasi politik ke depan, jika Jokowi terpilih lagi?”
Pilihan terpaksa
Awalnya, saya hanya menduga-duga lewat beberapa tayangan visual yang menampilkan gestur serta menginterpretasikan sejumlah kejadian.
Namun, makin ke sini, dugaan saya semakin kuat soal bagaimana posisi Kiai Ma’ruf Amin di mata Jokowi yang juga adalah petahana.
Saya menduga, sejak awal Jokowi tidak terlalu happy dengan sosok Kiai Ma’ruf sebagai wakilnya. Pilihan itu, bisa dibilang pilihan “terpaksa” karena “dipaksa”.
Siapa yang memaksa? Anda cari saja video seorang elite yang menyatakan “Yes!” saat Jokowi menyebut nama Kiai Ma’ruf sebagai cawapresnya.
Saat pertama nama Kiai Ma’ruf diumumkan, ketika pengumuman nama itu, situasi deklarasinya cenderung muram. Ini kontras dengan saat Prabowo mengumumkan cawapresnya, Sandiaga Uno, yang penuh teriakan bahagia.
Momen selanjutnya, bisa Anda lihat di video pengumuman nomor urut. Lihat gestur Jokowi ke Kiai Ma’ruf dan bandingkan dengan sikap penuh hormat pasangan Prabowo-Sandi ke beliau.
Jokowi tampak tak mengacuhkan Kiai Ma’ruf dan selalu meninggalkan beliau di belakang. Padahal, Sandi mencium tangan Kiai Ma’ruf dengan takzim dan saya melihat pandangan “sayang” orangtua ke anak dari Kiai Ma’ruf.
Prabowo menyalami dan mencium pipi Kiai Ma’ruf. Sebaliknya, kontak fisik antara Jokowi dan Kiai Ma’ruf cenderung formal dan seadanya saja. Jokowi lebih fokus kontak ke Prabowo-Sandi dibanding cawapresnya sendiri.
Selanjutnya, saat Kiai Ma’ruf sakit karena terjatuh dan tidak bisa bepergian untuk sementara waktu, kelompok ulama 212 segera menjenguk. Jokowi, sama sekali tidak menjenguk beliau.
Yang muncul kemudian malah keluhan bahwa Kiai Ma’ruf tidak mendongkrak elektabilitas Jokowi dan permintaan agar beliau lebih aktif lagi berkampanye. Puncaknya, muncul pemberitaan di Majalah Tempo dengan cover Jokowi menggendong Kiai di pundaknya.
Dianggap beban
Dari kasus sakit dan pemberitahuan itu, ada kesan bahwa di internal Kiai Ma’ruf dianggap beban dan efeknya pada elektabilitas sangat minimal.
Jokowi-Ma’ruf lantas terlihat bergerak sendiri-sendiri. Jokowi, dalam kapasitas—sebagai petahana—berkeliling Indonesia, sementara Kiai Ma’ruf memilih strategi “didatangi” pendukung dibanding “mendatangi”. Saat Jokowi tampil di sejumlah televisi untuk menyampaikan visinya lima tahun ke depan, dia tampil one man show.
Tidak terlihat kehadiran Kiai Ma’ruf di situ. Lagi-lagi, ini berbeda saat Prabowo berpidato, Sandi berdiri tegap di belakangnya, bahkan diberi kesempatan bicara. Mungkin ada yang membela, kehadiran Jokowi di televisi adalah sebagai seorang Presiden, bukan capres. Namun, perlu diingat, yang disampaikan Jokowi adalah visi lima tahun ke depan.
Kesan bahwa Kiai Ma’ruf menjadi beban politik Jokowi bisa dilihat juga dari hasil survei Charta Politika yang menyebut Kiai Ma’ruf hanya menyumbang 0,2 persen suara bagi petahana.
“Nilai” itu bahkan lebih sedikit dibanding berita majalah Tempo yang menyebut sumbangan Kiai Ma’ruf pada petahana hanyalah “satu setrip”. Karena itu, survei Charta Politika menyimpulkan, faktor Kiai Ma’ruf tidak cukup penting bagi keterpilihan kembali petahana. Menurut Charta Politika, peran Kiai Ma’ruf sebagai cawapres hanya dua.
Pertama, sebagai “bemper politik” agar petahana tidak diserang dari sisi keislaman. Kedua, sebagai vote getter bagi pemilih Muslim, utamanya dari kalangan NU.
Jika Kiai Ma’ruf diasumsikan hanya sebagai “cawapres nol koma” begitu, pantas beliau tidak diberikan kursi dalam rapat petahana dengan ketua-ketua partai koalisi. Asumsi Charta Politika ini sesuai dengan opini Tempo yang menyatakan, Kiai Ma’ruf dipilih hanya berdasarkan kepentingan jangka pendek. Beliau diperlukan semata untuk membentengi petahana dari serangan yang bersifat primordial. Kalaupun pasangan ini menang di Pemilu 2019,
Tempo meramal bahwa “ulama politikus” tersebut bisa jadi betul-betul hanya menjadi “ban serep Jokowi sepanjang lima tahun pemerintahan mereka”.
Belajar dari kasus Palin
Saya menyarankan, kubu Jokowi-Ma’ruf harus berhati-hati mengelola isu ketidakmesraan pasangan yang diusungnya dan tidak menganggap isu ini remeh. Pemilihan Presiden Amerika antara Barack Obama dan Joe Bidden versus John McCain dan Sarah Palin membuktikan bahwa isu ketidakharmonisan pasangan capres-cawapres bisa mempengaruhi pemilih.
Pilihan McCain atas Palin dalam Pilpres Amerika 2008 itu sejak awal sudah dianggap kontroversial. Meski menjabat sebagai Gubernur Negara Bagian Alaska, Palin dinilai bukan sosok berpengalaman dalam politik dan kurang dikenal dunia politik AS. Parahnya, keduanya juga kurang mengenal secara mendalam satu sama lain.
Pilihan McCain atas Palin sepenuhnya pragmatis, yaitu merebut suara perempuan yang simpati pada Hillary Clinton, seteru Obama dalam konvensi Demokrat. Namun, dalam perjalanan kampanye, manajemen kampanye McCain dan Palin malah sering bentrok. Palin, yang kurang populer, cenderung diremehkan dan dianggap beban karena energi tim kampanye McCain terkuras juga untuk mempopulerkan Palin di mata publik AS.
Kasus Palin membuktikan bahwa sinergitas antara capres dan cawapres sangat penting. Terlebih lagi, Kiai Ma’ruf tidak memiliki masalah popularitas seperti Palin karena jabatannya sebagai pimpinan NU.
Menganggap remeh Kiai Ma’ruf niscaya akan “melukai” warga NU. Kiai Ma’ruf harus dilibatkan dalam agenda-agenda TKN ke depan sehingga tidak ada lagi kesan bahwa kampanye ini adalah panggung one man show Jokowi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Kiai Ma’ruf Amin, Berkah atau Beban?”, https://nasional.kompas.com/read/2019/01/17/08512761/kiai-maruf-amin-berkah-atau-beban.
Editor : Palupi Annisa Auliani