Lista Hurustiati
Istilah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT) pernah menjadi topik pembicaraan hangat sekitar empat belas tahun lalu. Bermula dari diloloskannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-undang yang banyak disebut sebagai kemenangan kedua gerakan perempuan Indonesia memperjuangkan kedudukannya di mata hukum. Kemenangan kedua setelah kemenangan pertama yaitu dibentuknya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan.
Tetapi, sejauh apa kita paham tentang definisi KdRT dan beberapa peristilahan penting di dalam undang-undang itu? Sudah saatnya perempuan tak lagi cuma menjadi objek hukum, tetapi juga subjek hukum.
Memahami Definisi dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 6,7,8 dan 9
- Kekerasan Fisik (Pasal 6) adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
- Kekerasan Psikis (Pasal 7) adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
- Kekerasan Seksual (Pasal 8) adalah meliputi (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
- Penelantaran Rumah Tangga (Pasal 9 ayat (1) dan (2): adalah Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumahsehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Bagaimana Bersikap bila Terjadi Kekerasan dalam Rumah Tangga?
Rumah seharusnya merupakan sebuah tempat yang menyenangkan. Tempat untuk kita pulang setelah seharian beraktivitas, tempat yang hangat sehingga kita merasa aman dan terlindungi.
Tapi bagaimana kalau rumah justru menjadi tempat penganiayaan yang tersembunyi?
Berdasarkan Laporan Khusus PBB, KDRT didefinisikan dalam bingkai jender sebagai ”kekerasan yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga dengan target utama terhadap perempuan dikarenakan peranannya dalam lingkup tersebut; atau kekerasan yang dimaksudkan untuk memberikan akibat langsung dan negatif pada perempuan dalam lingkup rumah tangga.”
Bukan Cuma Fisik
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDrT), tak hanya berupa kekerasan fisik tetapi juga meliputi kekerasan seksual, ekonomi dan psikologis. Termasuk dalam kekerasan psikologis adalah penghinaan, komentar yang merendahkan, termasuk juga melarang istri berkunjung pada keluarga maupun bersosialiasi dengan teman-teman yang tidak dikehendaki suami.
Seorang perempuan, bercerita bahwa suaminya sering menyebut ia sebagai pelacur. “Tapi herannya, bukannya merasa jijik, dia masih saja mau berhubungan intim dengannya, seperti tidak ingat bahwa dia sendirilah yang pernah menganggap istrinya seperti pelacur,” ujarnya pedih
Kekerasan psikologis semacam ini memang bertujuan mengganggu dan menekan emosi, membuat istri tidak berani mengungkapkan pendapat, menjadi penurut, selalu bergantung pada suami dalam segala hal, termasuk keuangan. Sementara kekerasan seksual terjadi dalam bentuk pemaksaan dan penuntutan hubungan seksual.
Seringkali ancamannya sederhana, istri tidak boleh menolak keinginan suami., sudah mendapat hinaan, masih pula ingin berhubungan intim. Dalam kondisi seperti itu, sebenarnya istri ingin menolak, masih sakit dengan kata-kata suaminya. Tapi jika ditolak, justru timbul masalah berikutnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan kekerasan secara ekonomi meliputi tidak memberi nafkah istri, yang biasanya terjadi pada istri yang tidak bekerja sehingga suamilah satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga.
Dengan demikian suami bisa menentukan sendiri berapa uang yang akan diberikan pada istri untuk keperluan keluarga, atau sama sekali tidak menafkahi. Di sisi lain, kekerasan ekonomi juga meliputi suami yang melarang istri bekerja, atau justru membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi. Artinya, istri boleh bekerja tapi penghasilannya digunakan untuk keperluan rumah tangga.
Keras versus Diam
Seperti yang diungkapkan Pan Mohamad Faiz, President of Indonesian Student Association in India (PPI-India), kekerasan dalam rumah tangga menciptakan hubungan kekuasaan di dalam keluarga, di mana perempuan dikondisikan untuk menerima status yang rendah terhadap dirinya sendiri. Sedangkan pada lelaki dengan harga diri yang rendah, kekerasan bertujuan menghancurkan perasaan perempuan dan martabatnya karena ia tidak mampu mengatasi perempuan yang dapat berpikir dan bertindak sebagai manusia bebas dengan pemikirannya sendiri.
Pemukulan terhadap istri dianggap sebagai proses “mengajarkan” perempuan agar menjadi istri yang baik.
Anggapan posisi perempuan lebih rendah atau berada di bawah otoritas lelaki merupakan nilai yang dilembagakan dalam struktur keluarga patriarki dan didukung oleh lembaga ekonomi, politik dan sistem keyakinan, sehingga hubungan semacam ini tampak alami, adil secara moral dan suci. Apalagi nilai tersebut justru disahkan dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 yang membedakan peran dan kedudukan suami-istri. Karena itu, tak heran jika hukum belum dapat melindungi perempuan dengan baik.
Urusan “Dalam Negeri”
KDRT memang ibarat gunung es. Seberapa pun banyaknya perempuan yang telah melaporkan kejadian ini, masih lebih banyak lagi yang memilih untuk berdiam diri. Jika Anda kebetulan menjadi seseorang yang dipercaya untuk mendengar cerita ini dari seorang perempuan, berhentilah berpikir bahwa ini “sekedar” masalah rumah tangga.
Bantulah ia mencari pertolongan, baik dengan mendatangi rumah sakit, polisi, maupun lembaga swadaya masyarakat yang menangani korban KDRT. Tanpa bantuan dari pihak luar, korban KDRT sulit mencari jalan untuk keluar dari permasalahannya.
Sanksi Pidana UU Nomor 23 Tahun 2004
- Pasal 44 ayat (1)
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
- Pasal 44 ayat (4)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
- Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enamjuta rupiah).
- Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
- Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa : pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.
Apa harus Kita Lakukan?
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah korban dengan kebutuhan spesifik. Advokat atau Pendamping diharapkan dapat siap dalam menangani korban kekerasan dalam rumah tangga dan dapat bekerjasama dengan penyedia layanan pemerintah dan pihak lainnya dalam memenuhi kebutuhan korban KDRT.***
Lista Hurustiati, anggota PIRA, sarjana dan master Ilmu Hukum yang saat ini menjabat Sekretaris Umum Pengurus Pusat PIRA.