Politisi muda Partai Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menjelaskan kendala yang mengakibatkan adanya penolakan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang dilakukan berbagai pihak. Menurutnya, penolakan ini muncul lantaran rendahnya pemahaman terkait proses pembentukan perundang-undangan.
Padahal, masyarakat semestinya dapat memberikan masukan-masukan sebagai pertimbangan dalam pembahasan RUU di dalam rapat DPR. “Sehingga langsung penolakan, padahal dibahas saja belum,” kata politisi yang akrab disapa Sara ini di DPP Gerindra, Jakarta, Sabtu (12/10).
Selain itu, menurutnya, ada juga permasalahan di internal DPR yang menjadi faktor penghambat pengesahan RUU PKS ini. “Karena stuck di judul. Karena ada satu fraksi yang maunya harus ada kata ‘kejahatan seksual’, bukan ‘kekerasan’,” katanya.
Untuk ini, Sara berpendapat bahwa dalam RKUHP terdapat pasal yang menyatakan kata ‘kejahatan’ tidak diperkenankan digunakan dalam UU lain selain KUHP. Kata “kejahatan” maupun “pelanggaran” harus diganti karena berasosiasi dengan tindak pidana.
Selanjutnya, permasalahan lain yang menghambat proses pengesahan RUU ini yakni penolakan masyarakat yang mengklaim RUU ini jika disahkan akan memberatkan pria. Padahal, katanya, mayoritas kasus kekerasan seksual yang terjadi memang dilakukan pria. “Kenyataannya mayoritas pelakunya adalah laki-laki dan korbannya mayoritasnya adalah perempuan,” papar Sara.
Selain itu, ia menambahkan, RUU PKS ini juga tidak akan menggantikan posisi UU mana pun. RUU PKS, katanya, hanya melengkapi UU mengenai tindak pidana lain yang telah ada sebelumnya. “Karena tidak mungkin semua definisi dan secara detail tentang kekerasan seksual masuk ke dalam RKUHP. Apalagi kita bicara rehabilitasi, kita bicara pencegahan dan pemulihan,” pungkasnya.