Hari ini, seluruh pengurus pusat PIRA dan perwakilan 30 pengurus daerah (PD) Pira seluruh Indonesia, akan bersayonara.
Hari yang tepat karena baru saja perempuan Indonesia memperingati hari gerakan dan perjuangan perempuan Indonesia yang berkongres pertama di Yogya pada 22 Desember 1928.
Gerakan politik mengusung hak perempuan dalam politik praktis (salah satunya), 93 tahun yang lalu itu, saya lihat riilnya di ruang kongres PIRA kemarin.
Kutipan-kutipan mereka yang saya catat, sebetulnya bukan hanya membuat kita yang mendengar geleng kepala tapi juga merinding. Mereka yang saya catat dan kelak akan saya kumpulkan dalam sebuah buku ini, bukan hanya suara mereka dari Jawa, tetapi dari ujung dan pelosok seluruh Indonesia. Mereka rata-rata pernah mencoba menjadi calon anggota legislatif dalam berbagai tingkatan, ada yang gagal, ada yang berhasil.
Kenapa saya merinding?
Karena tak satu pun mereka yang kapok berpolitik. Padahal politik, partai, pencalegan, adalah pengalaman buruk dan traumatik untuk beberapa diantaranya.
Alasan mereka tetap setia berjuang di politik praktis dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)?
“Saya mencintai Pak Prabowo, maka saya mencintai Gerindra.”
“Saya ingin berjuang untuk perempuan akar rumput, di daerah saya, berobat misalnya, untuk keluarga miskin, bisa sangat mahal karena biaya transportasinya mahal.”
Ini cerita seorang peserta dari Sulawesi Barat. Ia pernah menjadi caleg DPRD II (Kabupaten/Kota), keluarga ayahnya pemilik bisnis media bertajuk “RADAR…”, juga ada hotel. Ia membiayai sendiri ketika turun ke dapil, berkampanye. Buat dia, berjuang di politik apalagi berniat jadi anggota dewan untuk cari kekayaan pribadi atau proyek, itu busuk.
Para anggota dewan laki-laki, tolong, malu sedikit. Berkaca, Anda duduk sebagai anggota dewan untuk apa?
Ada lagi pendapat seorang peserta sangat muda, usia 25 tahun, Wakil Ketua PD PIRA Provinsi Papua, Hauwa namanya.
“Teman-teman di Jawa sini sudah sampai pada perjuangan di tingkat strategi berpolitik dan memperoleh suara. Sementara kami, sinyal handphone saja tak ada. Bagaimana bisa kami belajar politik lewat webinar? Datanglah ke Papua, Kabupaten Puncak. Kami rindu didatangi,” kata sarjana hukum Universitas Jayabaya ini, yang sudah dua tahunan pulang kampung.
Melihat, mendengar langsung pengalaman mereka yang militan, saya kembali sadar betapa kuat modal sosial mereka.
Saya mengutip feminist scholar terkenal Indonesia, almh Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi Rooseno pada pengantar buku “Pengetahuan dari Perempuan” (Universitas Indonesia, 2010).
“Kenyataannya sulit memenuhi keterwakilan perempuan minimal sejumlah 30%, karena politikus perempuan Indonesia adalah kelompok yang berkesulitan ‘menyeberangi jurang kesetaraan’ itu,” demikian Ibu Toety menulis.
Miris, 30% parlemen masih dalam perjuangan, bahkan sampai hari ini. Dan jurang itu masih menganga dalam, walaupun tulisan ditorehkan almh Ibu Toety 11 tahun lalu, 19 November 2010.
Selamat hari perempuan!
Selamat kembali ke daerah dan sampai bertemu lagi ya teman-teman PD PIRA se-Indonesia.